Opini

Opini: Ambiguitas Indikator Ekonomi NTT

Secara kumulatif kinerja perekonomian provinsi NTT pada tahun 2021 tercatat sebesar 2,51% (ctc), lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2020.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI
Pengamat Kebijakan Publik, Ir. Habde Adrianus Dami, M.Si 

Parahnya lagi, ada persepsi yang wajar di benak masyarakat, bahwa pengambilan kebijakan bisa dilakukan tanpa data empiris. Bila demikian, kita telah berangkat dari kekeliruan dan berujung pada kefatalan. Karena, hanya mengejar orientasi pencapaian jangka pendek, tanpa melihat kepentingan jangka panjang.

Teknis Substantif

Jika melihat polanya, klaim pemerintah provinsi NTT, bahwa perkembangan perekonomian NTT, kearah yang lebih baik, menurut hemat penulis tampaknya terlalu tergesa-gesa simpulannya jika dieja dalam konteks korelasi pertumbuhan-kemiskinan-pengangguran, dengan basis data seketika.

Adapun alas pertimbangannya : Pertama, pertumbuhan-kemiskinan-pengngguran lebih tepat ditilik sebagai peristiwa ekonomi jangka panjang. Selain itu, dibutuhkan jeda masa untuk melihat dampak yang lebih nyata.

Kedua, pemerintah “terlalu bersemangat” untuk memastikan model ekonominya punya daya ramal berpresisi tinggi guna membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi harus menyempitkan fraksi populasi kemiskinan dan pengangguran.

Ketiga, lazimnya data ekonomi-sosial, data kemiskinan dan pengangguran pasti mengandung galat. Ada galat yang tersembunyi dalam pelaporan data pendapatan dan konsumsi.

Kelompok kaya enggan melaporkan informasi yang persis karena survei pendapatan dan konsumsi selalu “mencurigakan” buat mereka. Orang miskin keberatan memberi informasi tepat karena malu dianggap miskin. Jadi, kedua kelompok memiliki potensi bias informasi.

Baca juga: Opini : Tangis dan Air Mata Besipae

Keempat, seyogianya tidak hanya didasarkan pada indikator statis saja, namun harus dilengkapi dengan indiktor dinamis yang harus dikaji antar wilayah seperti mobilitas penduduk

Kelima, konsistensi data konsumsi makro-mikro juga menarik untuk diperiksa. Di tingkat makro akuntansi nasional mencatat konsumsi agregat.

Di tingkat mikro, Susenas mencatat data konsumsi rumah tangga atau per orangan. Apakah keduanya ajek? Apakah nisbah konsumsi per kepala hasil survey dengan konsumsi agregat per orang mendekati satu? Kalau keduanya tak ajek, acuan mana yang kita pakai untuk menyebut pertumbuhan konsumsi (atau malah pendapatan) per kepala?

Di luar soal teknis, hal yang tak kalah penting adalah absennya koherensi antara lini ekonomi dan keuangan di satu pihak dengan tujuan-tujuan reformasi sosial, di pihak lain.

Diskoneksi terjadi pada rancangan ekonomi keuangan yang konservatif dan kontradiktif, dengan target-target pembaruan sosial. Artinya, perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi jauh lebih urgen, bahkan dibandingkan pencapaian target angka pertumbuhan yang tinggi sekalipun.

Oleh karena itu, kita masih beruntung hanya mengalami fase moderasi, bukan stagnasi. Meskipun begitu, jika dicermati lebih dalam profil dan kinerja ekonomi NTT, tidak akan meningkat signifikan sesuai target jika tidak diikuti reformasi pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan, agar terhindar dari miskonsepsi ambiguitas indikator ekonomi NTT. (*)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved