Opini

Opini: Wajah Transformasi Sosial Pasca Pandemi

Internet mengubah wajah dunia sekaligus manusia. Layaknya belati, Internet memberi pengaruh positif dan negatif bagi penggunanya.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
Ilustrasi internet. Seorang warga Lewoleba, Kabupaten Lembata mengakses internet, Senin 10 Januari 2022. Opini : Wajah Transformasi Sosial Pasca Pandemi. 

Orang Rimba di Jambi memiliki tradisi Besesandingon di mana dalam situasi tertentu mereka masuk ke hutan dan menetap di sana sampai situasi kembali pulih.

Orang Badui di Banten menutup dan memperketat pintu masuk ke wilayah mereka. Dan masyarakat Boti di Nusa Tenggara Timur melalui titah raja menutup desa dari semua kunjungan.

Setelah pandemi Covid-19, masyarakat memasuki fase new normal. Kondisi sosial psikologis masyarakat pada fase new normal tidak sama dengan dua fase sebelumnya.

Baca juga: Opini : Beragama yang Baik dan Benar

Masyarakat mulai nyaman dan menikmati hidup bersama dengan Internet. Masyarakat dapat berinteraksi langsung namun secara psikologis mereka lebih nyaman berinteraksi dari jauh/ rumah menggunakan internet.

Masyarakat mengembangkan pola hidup hybrit yakni perpaduan antara tatap muka dan online pada hampir di semua sektor. Situasi ini mirip dengan keadaan pra pandemi namun fase new normal masyarakat lebih cenderung memanfaatkan komunikasi dan sistem kerja online.

Kosa kata luring, daring, hybrit menjadi sangat biasa ketimbang dua fase sebelumnya. Pada fase new normal individu dan masyakat menikmati kerja dengan siapa saja dan di mana saja dengan wajar tanpa merasa risih dan kikuk. Berbagai peluang kerja dan lapangan kerja tercipta dengan mudah.

Orang tidak lagi membutuhkan ijasah pendidikan tinggi untuk bekerja dan menghasilkan uang. Seorang nelayan dan petani bisa membuat video dengan kameranya yang murah dan mempostingnya di Youtube.

Orang tidak lagi perlu menghasilkan uang dari pekerjaan utamanya. Pekerjaan utamanya berubah menjadi teras bagi pekerjaan barunya. Petani tidak perlu bercocok tanam, cukup memvideokan cara bertani, ia berhasil mengumpulkan uang berlipat kali lebih banyak dari bertani sungguhan.

Pada fase new normal, individu dan kelompok telah berdamai dengan tuntutan kerja bermedia melalui monitor. Orang tidak membutuhkan sentuhan langsung dalam berkomunikasi, sentuhan beralih ke alat komunikasinya.

Baca juga: Opini : Tangis dan Air Mata Besipae

Komunikasi kelihatannya lebih efektif dan efisien dengan media namun simultan memaksa komunikator dan komunikan bekerja lebih keras dalam menginterpretasikan makna yang semakin berlapis jika ingin memahami kebenaran sesungguhnya. Penampilan di monitor tidak sepenuhnya mewakili realitas.

Penampilan dalam monitor adalah hasil rekayasa dengan framing dan editing. Kebenaran realitas dan rekayasa kebenaran datang silih berganti – kebenaran menjadi kabur.

Siapa saja dapat menciptakan kebenarannya sendiri dan dengan mudah disuguhkan kepada dunia. Siapapun bisa memilih dan memilah atau malah tidak peduli dengan realitas sesungguhnya dari sebuah tampilan. Inilah salah satu budaya baru yang muncul di fase new normal ini.

Lalu bagaimana kita memposisikan diri dalam situasi semacam ini? Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan dapat terjadi akibat situasi dari luar semacam pandemi Covid-19.

Namun pada saat yang sama, refleksi internal individu dan kelompok akan realitas di luar dirinya pun bisa mendorong manusia untuk menghasilkan perubahan-perubahan.

Pada titik ini, budaya dapat berubah bentuk namun yang perlu dipikirkan: manusia harus menjadi tuan atas hasil ciptaannya bukan sebaliknya menjadi babu dari karyanya sendiri.

Artinya budaya baru yang dihasilkan manusia semestinya membawa manusia lebih berkeadilan, setara dalam keberagaman dan toleran dalam kemajemukan dan lebih manusiawi. (*)

Baca Opini lainnya

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved