Breaking News

Opini

Opini: Wajah Transformasi Sosial Pasca Pandemi

Internet mengubah wajah dunia sekaligus manusia. Layaknya belati, Internet memberi pengaruh positif dan negatif bagi penggunanya.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
Ilustrasi internet. Seorang warga Lewoleba, Kabupaten Lembata mengakses internet, Senin 10 Januari 2022. Opini : Wajah Transformasi Sosial Pasca Pandemi. 

Oleh: Yoseph Andreas Gual

( Dosen Ilmu Komunikasi Unwira Kupang )

POS-KUPANG.COM - Internet mengubah wajah dunia sekaligus manusia. Layaknya belati, Internet memberi pengaruh positif dan negatif bagi penggunanya.

Kehadiran Internet mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam komunikasi, memunculkan bentuk kerja baru simultan beberapa model kerja berakhir, proses rekrutmen kerja dan dunia bisnis berubah, industri hiburan menemukan bentuk baru, layanan publik, pendidikan, rekreasi, pertemanan, referensi dan berbagairagam aspek hidup mengalami pergeseran bahkan perubahan signifikan.

Di sisi lain, pornografi menjadi massif walau telah dikontrol pemerintah, penipuan, hoax, perjudian online, kerentanan keamanan dan cyber bullying makin marak di dunia digital.

Masifnya pengaruh Internet dalam kehidupan masyarakat Indonesia bukan hal aneh jika ditelusuri dari data terpaan internet terhadap masyarakat.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melaporkan Maret, 2019 masyarakat Indonesia yang telah bersentuhan dengan Internet mencapai 64,8 persen atau 171,17 juta orang dari seluruh total penduduk 264,16 juta orang. Persinggungan masyarakat dengan internet pra pandemi Covid-19 ini merupakan proses alami.

Baca juga: Opini : Tantangan Profesionalisme Guru (dan PGRI)

Pemerintah dan swasta menyediakan infrastruktur, masyarakat memanfaatkan infrastruktur yang ada secara sukara rela. Saat itu, interaksi masyarakat berada pada titik hampir berimbang antara tatap muka dan memanfaatkan media digital namun masyarakat lebih cenderung berkomunikasi langsung atau antarpribadi.

Situasi ini berubah ketika pandemik Covid-19 melanda Indonesia. Data pengguna internet di Indonesia per Januari 2021 telah mencapai 73,7 persen atau 202,6 juta orang dari total jumlah penduduk 274,9 juta jiwa (Hootsuite, 2021).

Situasi semacam ini tidak mengherankan karena pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di mana semua aktivitas masyarakat diharuskan dan didorong dari rumah/work from home. Kebijakan top down ini bersifat imperatif sehingga memaksa masyarakat menggunakan internet dalam aktivitas pribadi dan sosialnya.

Dampak sosial atas situasi Covid-19 dan kebijakan PPKM/work from home membuat masyarakat: terpaksa harus belajar memasuki dunia baru. Individu dan kelompok didorong untuk menjadikan internet sebagai bagian dari kehidupan pribadi dan sosial budayanya.

Implikasi atas desakan ini memunculkan frustrasi masal. Pemerintah atau swasta atau produsen dipaksa untuk menyediakan infrastruktur yang memadai agar semua aktivitas individu dan sosial dapat berjalan. Masyarakat frustrasi karena dipaksa menggunakan alat dan sistem kerja baru yang belum sepenuhnya dikenal dan dikuasai.

Baca juga: Opini : Kota Kupang dalam Ancaman HIV/AIDS

Pada titik frustrasi sosial ini, beragam respon timbul. Ada yang pesimis dengan kondisi yang ada (mereka yang belum bisa atau tidak pernah bersentuhan dengan internet namun pekerjaan mengharuskan pemanfaatan internet), ada yang tidak merasa terganggu (Mereka yang sudah terbiasa menggunakan internet), ada yang apatis dan tidak peduli (masyarakat kecil di pedesaan) dan ada yang melihat peluang baru dari situasi runyam ini (para kreator).

Namun pada saat yang sama muncul kembali kearifan lokal dalam menghadapi pandemik Covid-19. Misalnya, masyarakat Punan Tubu di Kalimantan. Masyarakat Punan memiliki kearifan lokal menghadapi penyakit/bahaya dengan masuk hutan dan tinggal dalam unit keluarga inti.

Anggota keluarga yang sakit diberi tempat khusus yang sudah ditandai. Masyarakat adat Topo Uma di Sulawesi Tengah memiliki pengetahuan lokal dalam menghadapi penyakit menular dengan cara mengungsi ke rumah kebun.

Orang Rimba di Jambi memiliki tradisi Besesandingon di mana dalam situasi tertentu mereka masuk ke hutan dan menetap di sana sampai situasi kembali pulih.

Orang Badui di Banten menutup dan memperketat pintu masuk ke wilayah mereka. Dan masyarakat Boti di Nusa Tenggara Timur melalui titah raja menutup desa dari semua kunjungan.

Setelah pandemi Covid-19, masyarakat memasuki fase new normal. Kondisi sosial psikologis masyarakat pada fase new normal tidak sama dengan dua fase sebelumnya.

Baca juga: Opini : Beragama yang Baik dan Benar

Masyarakat mulai nyaman dan menikmati hidup bersama dengan Internet. Masyarakat dapat berinteraksi langsung namun secara psikologis mereka lebih nyaman berinteraksi dari jauh/ rumah menggunakan internet.

Masyarakat mengembangkan pola hidup hybrit yakni perpaduan antara tatap muka dan online pada hampir di semua sektor. Situasi ini mirip dengan keadaan pra pandemi namun fase new normal masyarakat lebih cenderung memanfaatkan komunikasi dan sistem kerja online.

Kosa kata luring, daring, hybrit menjadi sangat biasa ketimbang dua fase sebelumnya. Pada fase new normal individu dan masyakat menikmati kerja dengan siapa saja dan di mana saja dengan wajar tanpa merasa risih dan kikuk. Berbagai peluang kerja dan lapangan kerja tercipta dengan mudah.

Orang tidak lagi membutuhkan ijasah pendidikan tinggi untuk bekerja dan menghasilkan uang. Seorang nelayan dan petani bisa membuat video dengan kameranya yang murah dan mempostingnya di Youtube.

Orang tidak lagi perlu menghasilkan uang dari pekerjaan utamanya. Pekerjaan utamanya berubah menjadi teras bagi pekerjaan barunya. Petani tidak perlu bercocok tanam, cukup memvideokan cara bertani, ia berhasil mengumpulkan uang berlipat kali lebih banyak dari bertani sungguhan.

Pada fase new normal, individu dan kelompok telah berdamai dengan tuntutan kerja bermedia melalui monitor. Orang tidak membutuhkan sentuhan langsung dalam berkomunikasi, sentuhan beralih ke alat komunikasinya.

Baca juga: Opini : Tangis dan Air Mata Besipae

Komunikasi kelihatannya lebih efektif dan efisien dengan media namun simultan memaksa komunikator dan komunikan bekerja lebih keras dalam menginterpretasikan makna yang semakin berlapis jika ingin memahami kebenaran sesungguhnya. Penampilan di monitor tidak sepenuhnya mewakili realitas.

Penampilan dalam monitor adalah hasil rekayasa dengan framing dan editing. Kebenaran realitas dan rekayasa kebenaran datang silih berganti – kebenaran menjadi kabur.

Siapa saja dapat menciptakan kebenarannya sendiri dan dengan mudah disuguhkan kepada dunia. Siapapun bisa memilih dan memilah atau malah tidak peduli dengan realitas sesungguhnya dari sebuah tampilan. Inilah salah satu budaya baru yang muncul di fase new normal ini.

Lalu bagaimana kita memposisikan diri dalam situasi semacam ini? Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan dapat terjadi akibat situasi dari luar semacam pandemi Covid-19.

Namun pada saat yang sama, refleksi internal individu dan kelompok akan realitas di luar dirinya pun bisa mendorong manusia untuk menghasilkan perubahan-perubahan.

Pada titik ini, budaya dapat berubah bentuk namun yang perlu dipikirkan: manusia harus menjadi tuan atas hasil ciptaannya bukan sebaliknya menjadi babu dari karyanya sendiri.

Artinya budaya baru yang dihasilkan manusia semestinya membawa manusia lebih berkeadilan, setara dalam keberagaman dan toleran dalam kemajemukan dan lebih manusiawi. (*)

Baca Opini lainnya

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved