Opini
Opini : Menjadi Guru yang Inovatif
Pendidikan dianggap sebagai segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam lingkungan dan sepanjang hidup manusia.
Untuk itu, guru harus memiliki inisiatif untuk mencetuskan ide-ide kemajuan dalam pendidikan serta memberikan gagasan-gagasan inovatif di setiap proses pembelajaran.
Ide dan gagasan yang dianggap didaktis tersebut kemudian diajarkan dan diperagakan oleh guru dalam berbagai pengajaran dan demonstrasi, sehingga anak didik bisa memahami pelajaran secara optimal.
Semua itu tentunya harus didukung oleh pemberian motivasi yang mampu menginspirasi anak didik agar dapat meresapi substansi pendidikan secara baik.
Namun, dalam perjalanannya, tidak sedikit guru yang terjebak dalam pola atau metode tertentu yang malah mendegradasikan esensinya sebagai tenaga pendidik, sehingga turut mempengaruhi eksistensinya dalam proses kreatif pendidikan, terutama proses pembelajaran.
Dalam bukunya yang berjudul Awas, Jangan Jadi Guru Karbitan, Nini Subini (2012) memaparkan kesalahan-kesalahan guru dalam pendidikan dan pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, ungkapnya, terdapat beberapa kesalahan yang biasa dilakukan oleh guru. Yakni berpikir egosentris, merasa paling pintar, tidak peka terhadap suasana perubahan kelas, tidak menguasai materi, mengajar tanpa mendidik, kerap menjadi spesialis tugas atau ulangan harian, jarang melakukan koreksi dan evaluasi.
Baca juga: Opini : Jalan Beriringan Pembelajaran dan Assesmen
Termasuk, asal-asalan dalam memberikan nilai, cara penyampaian bahan ajar tidak melalui komunikasi yang efektif, mengajar tanpa persiapan, hingga kerap membawa persoalan pribadi ke dalam proses pembelajaran.
Menurut Subini, kesalahan-kesalahan tersebut membuat guru menjadi tenaga pendidik karbitan yang hanya melalui proses kreatif pendidikan secara instan dan tidak substantif. Guru karbitan akan menciptakan hasil-hasil semu yang dijadikan standar pencapaian pembelajaran.
Hal itu tentunya akan mencederai konsep inovasi dan kebijaksanaan yang dibutuhkan oleh anak didik. Tidak heran, proses kreatif yang tidak matang dan seimbang akan melahirkan individu-individu yang rentan terhadap terpaan negatif perubahan. Maka dari itu, Subini terus mengingatkan dan mendorong guru agar jangan menjadi tenaga pendidik karbitan.
Sebab guru adalah sosok yang digugu dan ditru bagi anak didiknya. Terlepas dari kelalaiannya sebagai manusia, terang Subini, guru wajib menjadi teladan dan model peran yang positif dalam pendidikan.
Seiring berjalannya waktu, guru semakin dituntut untuk menjadi lebih inovatif dan bijak. Dalam bukunya yang berjudul Guru dan Anak Dalam Interaksi Edukatif, Syaiful Bahri Djamarah (2005) menerangkan 3 tugas utama yang harus diperhatikan oleh guru dalam menjalankan perannya sebagai tenaga pendidik, yakni tugas profesi, kemanusiaan, dan kemasyarakatan.
Baca juga: Opini : Tantangan Profesionalisme Guru (dan PGRI)
Tugas profesi merujuk pada kemampuan guru dalam menjalan profesionalitasnya sebagai pengajar, transfer knowledge, dan formator intelektual bagi anak didik.
Tugas kemanusiaan merujuk pada usaha dan upaya guru dalam menuntun anak didiknya untuk mengidentifikasi diri, menggali potensi diri, serta memberikan motivasi yang mampu menunjang perkembangan diri anak didik.
Serta, tugas kemasyarakatan merujuk pada tanggung jawab moril seorang guru terhadap anak didiknya dalam mengarahkan dan menanamkan nilai-nilai sosial dan kenegaraan yang mengacu pada Pancasila dan UUD 1945.
Ketiga tugas utama guru tersebut merupakan cerminan kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang guru. Tugas profesi dan kemanusiaan mampu mendorong guru untuk berpikir secara inovatif, sedangkan tugas kemasyarakatan dapat menuntun guru untuk bertindak secara bijak. Inovasi dan kebijaksanaan tersebut merupakan bagian penting dalam proses peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.