Opini
Opini : Jalan Beriringan Pembelajaran dan Assesmen
Assesmen nasional yang pertama dilaksanakan pada Tahun pelajaran 2021/2022 atau pada satu Tahun pelajaran yang lalu.
Dari beragam kurikulum yang telah diterapkan di Indonesia, mau bagaimanpun bentuk dan struktur kurikulumnya, peran guru di dalam kelas selalu tidak dapat tergantikan. Dari sejak dahulu hingga saat ini, guru adalah aktor utama yang berperan dalam merancang pembelajaran di dalam kelas.
Jika selalu berlaku demikian maka tidak salah jika muncul pertanyaan. Apa yang menyebabkan sebagian guru kita belum juga mampu menghadirkan pembelajaran yang berorientasi pada literasi dan numerasi?
Dari observasi dan wawancara kecil-kecilan yang saya lakukan pada beberapa rekan Guru di Kabupaten tempat saya bertugas, saya peroleh informasi awal terkait masalah ini. Hal yang menjadi kendala utama adalah sebagian Guru belum juga mampu menyelenggarakan pembelajaran yang dapatmengasah serta mengukur pengetahuan kognitif level atas.
Bukti permulaannya dapat kita lihat kembali saat pelaksanaan Ujian Nasioan (UN) pada Tahun 2018 silam yang untuk pertama kalinya soal-soal yang diujikan memuat soal-soal penalaran dengan level berpikir berada pada kategori C4-C6.
Pada saat itu, media sosial kita sempat diramaikan dengan komentar dan curhatan siswa yang merasa dicurangi karena soal-soal UN yang diujikan sangatlah sulit dan tidak sesuai dengan materi yang selama ini mereka pelajari.
Selain itu, juga terjadi terjadi penurunan rerata nilai UN, terutama untuk mapel matematika, fisika, dan kimia. Artinya bahwa pembelajaran yang dapat mengasah pengetahun kognitif level atas siswa memang sudah sejak lama diabaikan.
Apalagi setelah kewenangan mengenai pelaksanaan Ujian Nasional (UN) diserahkan kepada masing-masing satuan pendidikan, tanpa kita sadari kualitas setiap soal yang diujikan kepada siswa kita rasanya tanpa kontrol dan pengawasan yang berarti.
Baca juga: Opini : Lemahnya Penegakan Hukum di Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
Kita harus jujur bahwa soal-soal yang selama ini dipakai untuk mengevaluasi kemampuan kognitif siswa hanya terbatas pada satu indikator utama yaitu sudah terakomodirnya semua Kompetisi Dasar (KD) yang diprogramkan.
Karena seutuhnya menjadi kewenangan setiap satuan pendidikan atau dalam hal ini masing-masing guru mata pelajaran, kualitas soal kita sangat bergantung seutuhnya pada sejauh mana pengetahuan dan kreativitas dari guru.
Memang ada komunitas guru seperti MGMP dan KKG sebagai wadah untuk saling bertukar pikiran antar sesama guru. Tetapi komunitas tersebut punya standard yang berbeda-beda.
Bahkan di daerah terkadang ada komunitas yang aktif musiman. Karena itu, tidak mengherankan jika di awal-awal pelaksanaan Assesmen, ada satuan pendidikan yang bahkan aktif membimbing dan memfasilitasi siswanya di luar jam pelajaran.
Ini dilakukan agar nantinya siswa terbiasa dalam mengerjakan soal-soal Assesmen. Artinya bahwa pembelajaran di kelas selama ini hanya terbatas pada penyampaian materi teoritis atau sama sekali tidak menyentuh pengetahuan kognitif level atas. Ujian Assesmen dan pembelajaran di kelas seolah berjalan pada rel yang terpisah.
Soal asesmen dengan sasaranya adalah pengetahuan kognitif C4-C6 sedangkan pembelajaran di kelas sebaliknya terbatas hanya pada materi teoritis. Padahal secara teknis, assessmen adalah aktivitas ujian biasa berupa membaca dan menjawab soal atau sama halnya seperti ketika siswa mengikuti ujian tertulis lainnya.
Sudah barang tentu kita berharap hasil assesmen kali ini dapat lebih baik dari sebelumnya. Tetapi melihat ragam Program yang sudah diluncurkan, saya sedikit merasa skeptis. Sebab ragam program tersebut kelihatannya belum ada yang sifatnya memaksa atau mengikat.
Baca juga: Opini : Pejabat Publik dan Usaha Menghargai "Yang Lain"
Karena itu, hemat penulis diperlukan kebijakan yang sifatnya mampu memaksa dan mengikat satuan pendidikan. Hal ini agar pembelajaran yang dilakukan di kelas bukan lagi pembelajaran yang hanya berkutat pada materi teoritis.