Opini
Opini : Pejabat Publik dan Usaha Menghargai "Yang Lain"
Imaji tentang Indonesia yang terbuka dan menghargai perbedaan masih jauh dari panggang api. Kita sedang dihantui bahaya laten intolerasi.
Oleh : Rio Ambasan
Mahasiswa IFTK Ledalero. Anggota Komunitas Menulis di Koran dan Diskusi Filsafat Ledalero (KMK-L)
POS-KUPANG.COM - Diskursus tentang kerukunan umat beragama di Indonesia merupakan suatu hal yang cukup menarik dan menguras energi. Pernyataan ini cukup berdasar sebab tak dapat dimungkiri bahwasanya kasus-kasus seperti pengrusakan rumah ibadah, kewajiban mengenakan jilbab bagi peserta didik non-Islam dan pelbagai tindakan represif lainnya jamak terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Imaji tentang Indonesia yang terbuka dan menghargai perbedaan rasa-rasanya masih jauh dari panggang api. Kita harus sadar bahwa Indonesia sedang dihantui bahaya laten intolerasi.
Awal September kemarin, api kebhinekaan yang sudah diwarisi oleh para pendahulu bangsa ini seolah diredupkan. Pada Rabu 7 September 2022 kemarin, Wali Kota Cilegon, Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota, Sanuji Pentamarta secara sadar, tahu dan mau ikut menandatangani penolakan rencana pendirian Gereja HKBP Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon, di depan masa yang mengatasnamakan Komite Penyelamat Karifan Lokal Kota Cilegon.
Jika kita menengok ke belakang, tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang praktik diskriminatif Pemerintah Kota Cilegon yang tercatat telah sebanyak empat kali menolak pengajuan izin Gereja HKBP Maranatha sejak 2006 dan lima kali menolak pengajuan izin Gereja Baptis Indonesia Cilegon sejak 1995 (YLBHI, 2022).
Jika kita kaji lebih lanjut, apa yang saat ini dialami oleh saudara-saudara kita di Cilegon merupakan kasus yang jelas-jelas bertentangan dengan inti sari Undang-Undang Dasar Pasal 29 Ayat (2) yang dengan tegas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Baca juga: Opini : Antitesis Restorasi
Lebih lanjut, tindakan atau praktik yang dilakukan oleh kedua pejabat publik tersebut seyogianya merupakan tindakan yang sangat banal dan tidaklah elok. Keduanya perlu mengontemplasikan secara lebih dalam tentang makna dari kata “pemimpin” itu sendiri. Pada awal tulisan ini, saya mengartikan para korban yang tidak mendapatkan izin atas pendirian rumah ibadahnya sebagai “Yang Lain”.
Achmad Fauzi dalam Intolerasi yang Mencemaskan, (Kompas.id 10 Februari 2020) menjelaskan bahwa secara umum, tingginya grafik intoleransi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Pertama, naiknya intensitas politisasi agama yang sejalan dengan tahun politik elektoral, khususnya pilkada dan pilpres.
Kedua, peningkatan intoleransi pada level individu dan kelompok warga akibat klaim kebenaran pada tataran sosial yang cenderung absolut.
Ketiga, kompleksitas persoalan pasal penodaan agama.
Keempat, kebangkitan kelompok-kelompok kontranarasi radikalisme, ekstremisme, dan anti-Pancasila. Kelima, adanya pembiaran negara.
Lebih lanjut, Fauzi menegaskan bahwa praktik intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi selama ini dipengaruhi oleh kemandulan peran negara dalam menerjemahkan konsep toleransi.
Jurgen Habermas dan Inklusi