Opini
Opini : Antitesis Restorasi
Dalam tataran konseptual maupun implementatif, tatakelola partai politik yang demokratis akan memperkuat keutuhan bangsa.
Oleh : Habde Adrianus Dami
Mantan Sekda Kota kupang, Pengamat Kebijakan Publik
POS-KUPANG.COM - Pandangan tentang nasionalisme pasti berbeda dari bangsa satu ke yang lain. Bahkan, sesama anak bangsa pun bisa ada perbedaan. Yang perlu dicatat bahwa meskipun persepsi bisa berbeda dan berlainan, namun arti nasionalisme dari waktu ke waktu, dan di mana pun tidak berbeda, yaitu option for own people, pemihakan kepada bangsanya sendiri.
Dalam konteks penguatan dan penajaman kebangsaan, proposisi yang dapat dirumuskan saat ini adalah, politik identitas telah medekonstruksi desain nasionalisme lama dan mengonstruksi desain nasionalisme baru, di mana tindakan politik kebangsaan berdasarkan politik aliran (dan juga politik kepentingan).
Atas dasar fakta empiris ini Partai Nasdem, mengembuskan angin segar gagasan gerakan perubahan restorasi dan tentu ini disambut dengan tangan terbuka. Sebab, apabila ide tersebut dipahami sebagai penegasan gelombang perubahan pada tataran orientasi pemikiran (politik) untuk mengokohkan nasionalisme. Bisa dipastikan, setiap kita akan mengakuri seutuhnya proposisi restorasi di atas.
Problemnya ada pertanyaan yang menggelayut di benak banyak orang, apabila dikontraskan dengan dinamika suksesi kepemimpinan nasional adalah, bagaimana, Partai Nasdem mengusung calon presiden 2024?, Pertanyaan yang sangat wajar mengingat sejumlah pertanyaan masih tetap menggantung. Antara kata, berikut praktiknya. Apakah desain gerakan perubahan restorasi merengkuh keberadaan politik identitas sebagai landasan afiliasi politik kepemimpinan nasional?
Secara jujur kita harus mengakui bahwa partai politik di Indonesia belum dikelola secara demokratis, melainkan dikelola secara oligarkis (pengambilan keputusan terletak pada sekelompok kecil elite partai), bahkan untuk sejumlah partai dikelola secara personalistis (kata putus berada pada tangan ketua umum).
Dalam bahasa ilmu politik, partai politik di Indonesia sangat lemah dalam intra-party democracy. Padahal, dalam tataran konseptual maupun implementatif, tatakelola partai politik yang demokratis akan memperkuat keutuhan bangsa.
Fragmentasi Kebangsaan
Fragmentasi adalah sebuah sikap untuk membuat pengepingan-pengepingan, namun demikian cenderung hanya memilih kepingan yang menarik saja untuk dimiliki atau dikuasai. Kalau kita perhatikan secara seksama, gejala fragmentasi itu tampaknya juga mudah terjadi dalam proses pematangan sikap kebangsaan di antara kita. (Mukhtar, 1995).
Sehingga, setiap orang bisa berbicara tentang wawasan kebangsaan, tetapi tidak sedikit di antaranya yang mengartikulasikan hal itu menurut sisi yang menarik hatinya saja. Contoh sederhana yang masih aktual dan relevan mengemukanya politik indentitas dalam Pilkada DKI Jakarta 2017-2022.
Ada semacam ketidaksukaan komunitas tertentu untuk menerima begitu saja seseorang yang tidak punya riwayat hubungan “kesamaan” untuk berkuasa. Padahal, apabila digunakan kacamata kebangsaan yang utuh dan adil tidak ada anak bangsa yang inferior atau superior.
Sehingga, apa pun interpretasi dari gejala itu, sebuah pertanyaan yang mesti dijawab adalah, apakah memang terlalu sulit untuk menyatukan platform wawasan kebangsaan yang utuh dan obyektif?. Pemahaman kebangsaan yang utuh dan obyektif tidak mentolerir sikap-sikap pilih kasih dan manipulatif.
Memang diakui, rasa cinta dan rasa bangga terhadap daerah atau suku sendiri maupun kesamaan fakta lainnya sebenarnya tidak buruk. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa hal itu seringkali malah positif untuk membangun kebersamaan dan tolong-menolong.
Yang jadi soal adalah apabila rasa kecintaan itu mewujud dalam bentuk fanatisme. Fanatisme membuat seseorang atau kelompok mudah gelap mata, amat subyektif, dan kemudian gampang menyalahkan bahkan menghukum orang lain yang bukan kelompoknya sebagai “kambing hitam”.