Opini

Opini : Membentuk Suporter (Aremania dan Lomblenmania)

Perse Ende merasa sangat tersentuh dengan kedewasaan Lomblenmania. Bahkan mereka membentuk lautan mengantar para juara ke Kota Pancasila.

Editor: Alfons Nedabang
TRIBUNFLORES.COM/HO-PANITIA ETMC LEMBATA
MASKOT - Baleo Ikan Paus menjadi maskot El Tari Memorial Cup XXXI tahun 2022 di Kabupaten Lembata. Kick off mulai Jumat 9 September 2022. 

Pertama, tragedi Kanjuruhan menyadarkan perlu adanya upaya membentuk suporter. Sebuah proses pendidikan yang tidak bisa dilakukan di luar kancah tetapi juga di dalam stadion sendiri. Hal ini karena euforia dalam sebuah kelompok massa hanya bisa diimbangi oleh pembentukan fans.

Contoh yang terlalu sederhana dan tentu tidak bisa disanjung berlebihan, tetapi Lomblenmania memberi makna baru syair: Buat apa rusuh-buat apa rusuh, rusuh itu tak ada gunanya’, menjadi sebuah awasan sejak babak pengisihian bahkan sampai partai final.

Para penonton dibina dan dibentuk untuk menerima hasil pertandingan sebagai sebuah kenyataan dan tidak perlu menjadi ajang untuk membuat kerusuhan.

Kita lalu membayangkan, andaikan syair itu dinyanyikan juga oleh Aremania (dan mania di klub lainnya), maka dapat menjadi sarana pendidikan dan antisipasi bersama.

Baca juga: Opini : Ujian Nasional Partai Baru

Kedua, begitu banyaknya orang menyatukan diri dalam sebuah identitas kolektif seperti penggemar satu klub menjadi sebuah pertanyaan menggelitik. Apakah hal ini menjadi cerminan sosial terhadap minimnya wadah yang mestinya lebih punya kekuatan infrastruktur untuk mendidik anggota kelompoknya?

Kita mengarahkan pertanyaan ini pada partai politik misalnya yang selalu mengklaim diri sebagai organisasi rekrutmen dan pendidikan calon pemimpin bangsa. Jelasnya, sejauh mana mereka bisa membentuk partainya sebagai wadah pembinaan.

Psikolog Erik Salazar Flores, dari Fakultas Psikologi UNAM (Meksiko) seperti dikutip Fernando Guzmán Aguilar dalam La afición al futbol, vista por un psicólogo mengungkapkan hal mencengangkan.

Baginya, sepak bola "menjajah" ruang entitas lain yang tidak disukai masyarakat. Ada orang yang alih-alih melakukan kritik sosial atau berpartisipasi dalam politik, lebih memilih menjadi bagian dari hobi. Dan ada penggemar yang "menjangkarkan" diri mereka ke tim untuk menjadi bagian dari identitas bersama, dari makhluk kolektif yang setelah gol membuat "gelombang".

Itu berarti, euforia untuk mengidentifikasi dengan tim sepak bola menjadi pilihan ketimbang menjadi anggota parpol yang dalam kenyataan lebih menampilkan banalitas berpolitik. Mereka jauh dari fungsi edukatif. Sebaliknya mereka lebih mempertontonkan tingkah sekadar jadi ‘calo’ bagi siapa yang mau jadi pemimpin melalui ‘perahunya’ ketimbang membina kader sendiri.

Dalam arti ini, Kanjuruhan bisa menjadi sebuah contoh tentang cerminan sosial yang kini retak. Itu berarti mengembalikan kedamaian dalam sepak bola tidak sekadar menata suporter di stadion, tetapi juga dimulai dari menata realitas dan dinamika politik kita.

Pembenahan yang superfisial kalau kita hanya ingin menata penonton tetapi lupa pada akar teladan melalui dinamika kebangsaan salah satunya melalui parpol.

Bila kita sepakat memulai gerakan secara bersama, maka tragedi Aremaia di Kanjuruhan tidak akan terjadi lagi. Yang malah akan terjadi di lapangan adalah kegembiraaan ala Lomblenmania, yang selain sejuk, juga menghibur ‘si daster ajaib’ Pius Kedang Wawin. Sebuah goyangan yang tidak saja menghibur tetapi juga menjadi sarana membentuk suporter. (*)

Ikuti berita POS-KUPANG.com di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved