Opini

Opini : Membentuk Suporter (Aremania dan Lomblenmania)

Perse Ende merasa sangat tersentuh dengan kedewasaan Lomblenmania. Bahkan mereka membentuk lautan mengantar para juara ke Kota Pancasila.

Editor: Alfons Nedabang
TRIBUNFLORES.COM/HO-PANITIA ETMC LEMBATA
MASKOT - Baleo Ikan Paus menjadi maskot El Tari Memorial Cup XXXI tahun 2022 di Kabupaten Lembata. Kick off mulai Jumat 9 September 2022. 

Oleh : Robert Bala

Ketua Yayasan Koker Niko Beeker, Penyelenggara Sekolah Keberbakatan Olahraga (SKO) SMARD Lewoleba – Lembata.

POS-KUPANG.COM - Euforia kemenangan Perse Ende dalam ETMC Lembata membawa sisi lain yang tidak kurang menggugah. Pemain, suporter Perse merasa sangat tersentuh dengan kedewasaan Lomblenmania yang betindak elegan. Bahkan mereka membentuk lautan mengantar para juara kembali ke Kota Pancasila.

Aura positif menggugah itu seakan tertampar dengan tragedi Kanjuruhan. Wafatnya 131 orang, belum termasuk yang terluka, memunculkan pertanyaan: apakah kita perlu membentuk suporter atau membiarkan mereka seperti itu?

Dalam artikel pada Majalah Saludario, El Medico para médicos, Barbara Garcis mengupas dan menjawab pertanyaan, mengapa para penggemar menjadi brutal. Di barisan para penonton, kerap ditontonkan hal menarik dari para fans.

Di lapangan seperti Real Madrid dan Barcleona, hampir 100 ribu penonton dapat membentuk gelombang alamiah. Semua seakan bersatu agar berdiri bersama membentuk sebuah aliran gelombang. Hal itu mengungkapkan keadaan hati yang dialami semua pada saat bersamaan.

Tetapi kadang, fans menjadi mesin otentik untuk menyerang siapa saja yang tidak mendukung cita-cita atau keyakinan mereka: wasit, pemain rival, manejer klub. Di situ bisa muncul aksi protes secara bersamaan.

Kesalahan sekecil apapun di daerah gawang, segera diteriakkan seakan harus dihukum penalti meski kenyataan tidak demikian. Mereka merasa perlu menyatu dalam alunan untuk meneriakkan hal yang sama.

Baca juga: Opini : Balita NTT Masa Depan Indonesia

Semuanya bila dilaksanakan dalam eufori massa bisa perlahan menyulut aksi brutal, hal mana terjadi di stadion Kanjuruhan. Di sana orang yang ada di dalamnya dengan mudah kehilangan kesadaran akan diri sendiri (self awareness) dan kehilangan pengertian evaluatif terhadap dirinya (evaluation apprehension).

Hal itu akan diperparah oleh kenyataan anonimitas (karena berada dalam sebuah kelompok massa) dan kian menjauhnya perhatian dari individu.

Ini sebuah kenyataan psikologis yang kerap tak disadari oleh para fans dalam sepak bola. Mereka tidak menyadari bahwa dalam sebuah kelompok besar yang hanya disatukan oleh sebuah identitas kolektif (sebagai sesama pendukung sebuah team), kerap solidaritas itu dapat mengantar mereka untuk turun bersama melakukan sesuatu hanya karena ada orang lain yang lebih dahulu melakukannya.

Harus diakui bahwa tidak semua dari 131 korban itu menjadi fans brutal. Sebagian besar dari mereka bisa saja suporter biasa yang hadir di Kanjuruhan untuk menonton sebuah pertandingan.

Mereka pun tidak bermaksud apalagi merencanakan mengakhiri hidupnya secara keji. Tidak. Mereka hanya hadir, bersatu dalam euforia kemenangan tetapi ketika tim kesayangan kalah, mereka terluka dan terhanyut dalam solidaritas kolektik.

Baca juga: Opini : Air Mata Gubernur dan Bupati

Saling Mendidik

Adanya perilaku agresif dalam kondisi anonim seperti itu mestinya menjadi kesadaran bersama bahwa tragedi Kanjuruhan mestinya menjadi akhir dan tidak akan terjadi lagi ke depannya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved