Berita Nasional

Jokowi Sebut Tahun Depan Ekonomi Gelap, Waspada, Tapi Harus Tetap Optimistis

Presiden Joko Widodo alias Jokowi menyebut tahun 2023 tahun gelap untuk dunia akibat krisis pangan global. Hal ini kemungkinan turut melanda Indonesia

Editor: Agustinus Sape
YOUTUBE/SEKRETARIAT PRESIDEN
OPTIMISTIS - Presiden Joko Widodo alias Jokowi bersama para pengusaha yang menerima penghargaan di acara Trade Expo Indonesia (TEI) ke-37 yang digelar di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu 19 Oktober 2022. Jokowi menyebut tahun depan ekonomi dunia gelap, tapi Indonesia harus tetap optimistis. 

Gejolak geopolitik dan krisis ekonomi global mengancam krisis pangan di dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mengajak seluruh negara di dunia untuk terus berupaya meningkatkan produksi pangan dan mutu asupan nutrisi bagi seluruh umat manusia.

Dunia sedang mengalami krisis pangan. FAO menyebutkan sekitar 193 juta orang di 53 negara mengalami kerawanan pangan pada 2021. Jumlah penduduk dunia yang dilanda krisis pangan tersebut naik 40 juta orang dibandingkan pada 2020. Wilayah-wilayah yang diklasifikasikan dalam fase darurat dari bencana kerawanan pangan ialah Etiopia, Madagaskar selatan, Sudan Selatan, dan Yaman.

Kondisi rawan pangan ini menurut FAO memerlukan tindakan taktis dan kolaboratif dari negara-negara di dunia untuk mencegah meluasnya kelaparan dan ancaman kematian. Momentum Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2022 kian meneguhkan bahwa kebutuhan pangan di seluruh dunia harus tercukupi secara adil dan merata.

Tema tersebut secara tidak langsung mengingatkan bahwa dunia yang terus berkembang ini harus turut memperhatikan kualitas lingkungan demi keberlangsungan pangan di masa depan. Dengan mengusung tema besar ”Leave No One Behind; Better Production, Better Nutrition, a Better Environment, and a Better Life”, FAO sadar bahwa menjaga keberlangsungan pangan itu membutuhkan serangkaian faktor pendukung yang sangat kompleks.

Di tengah semua negara berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonominya, ada kontribusi pembangunan yang justru berefek negatif bagi lingkungan. Peningkatan emisi karbon yang berlangsung sejak era industrialisasi demi tujuan kesejahteraan masyarakat kini menjadi bumerang yang mengancam keberlangsungan produksi pangan. Terjadinya efek pemanasan global yang mendorong terjadinya anomali iklim dan cuaca di hampir seluruh dunia sehingga membuat produksi pangan dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Di sejumlah negara tiba-tiba mengalami penyusutan suplai air bersih, terjadi pergeseran musim hujan dan kemarau, sejumlah lahan pertanian mengalami kekeringan atau juga kebanjiran, serangan hama dan penyakit karena ada perubahan pola tanam akibat pergeseran cuaca, hingga terjadi kelaparan dan kekurangan asupan nutrisi akibat kegagalan panen.

Fenomena tersebut patut menjadi kekhawatiran bersama karena terjadi degradasi faktor alam yang dapat berimbas pada penurunan produksi pangan. Dapat dibayangkan apabila kondisi demikian terjadi secara global, akan terjadi kelangkaan pangan yang memicu gejolak perekonomian dan juga ancaman nasional.

Kelangkaan pangan akan membuat harga pangan kian melambung sehingga mendorong inflasi, memicu pemasalahan antarmasyarakat karena saling berebut bahan pangan, ketidakpuasan pada kebijakan pemerintah, hingga terjadi konflik antarnegara demi menguasai pangan. Untuk menghadapi degradasi lingkungan yang berlangsung secara global tersebut, perlu menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak dan koordinasi lintas negara guna mengatasi krisis iklim.

Baca juga: Hari Pangan Sedunia, Perwakilan FAO Indonesia dan Timor Leste Fokus Petani dan Nelayan

Negara-negara maju harus membantu negara-negara yang lebih miskin untuk meningkatkan kualitas pendidikan, perekonomian, dan juga lingkungan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan, maka kepedulian terhadap lingkungan akan kian baik. Negara-negara maju dituntut terus berinovasi mengembangkan teknologi mutakhir yang ramah lingkungan untuk didistribusikan ke seluruh dunia.

Negara-negara berkembang yang umumnya memiliki sumber daya alam dan hutan pun juga dituntut untuk mengedepankan prinsip kelestarian lingkungan dalam mendorong kemajuan ekonomi negaranya. Tentu saja, hal ini juga membutuhkan kolaborasi dan juga bantuan dari negara-negara maju baik dari segi pendanaan, ilmu pengetahuan, dan juga teknologi.

Selain itu, kolaborasi dunia juga diperlukan untuk membentuk badan atau organisasi bersifat global yang berupaya membangun visi dan misi untuk mengatasi persoalan lingkungan. Tujuannya ialah membangun visi yang sama terhadap target mitigasi reduksi emisi yang akan diraih dunia dalam beberapa tahun mendatang. Selanjutnya, diterjemahkan dalam misi-misi yang dilakukan setiap negara untuk membuat tahapan reduksi emisi karbon berdasarkan karakteristik kontributor gas rumah kaca di setiap negara.

Oleh sebab itu, sejak tahun 1989 terbentuk Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang menjadi langkah konkret negara-negara maju dalam menjaga stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca. Upaya ini salah satu tujuannya untuk mengantisipasi perubahan iklim agar ekosistem dunia tetap kondusif dalam meningkatkan produksi pangan. Dengan demikian, akan tercipta keamanan suplai pangan yang berguna mendorong pertumbuhan ekonomi dunia yang berkesinambungan.

Impor pangan

Produksi pangan di setiap negara harus didorong terus meningkat agar tercipta kedaulatan pangan yang dapat menyejahterakan petani sekaligus memenuhi asupan gizi seluruh masyarakat. Namun, tidak semua negara memiliki karakteristik lahan yang kondusif untuk optimalisasi produksi pertanian pangan. Selain itu, kebutuhan pangan manusia yang kian kompleks, tetapi tidak didukung oleh diversifikasi bahan pangan yang memadai membuat suatu negara memiliki ketergantungan yang tinggi dengan negara lainnya. Impor menjadi solusi guna memenuhi kuantitas pangan berikut asupan nutrisinya.

Data dari Chatham House, The Royal Institute of International Affairs tahun 2020 menunjukkan bahwa penguasa produk pertanian dunia berada di Benua Amerika. Pada tahun 2020, dari sekitar 1,6 miliar ton produk pertanian yang di ekspor ke seluruh negara di dunia, Benua Amerika menyumbang sekitar 563 juta ton atau hampir 49 persen.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved