Korban Mutilasi di Mimika
KKB Sebagai Pelabelan Ditolak, Keluarga Korban Mutilasi di Mimika Papua Ajukan Dua Tuntutan
Keluarga empat warga Nduga yang menjadi korban kasus mutilasi di Mimika Papua mengajukan dua tuntutan saat para pelaku sudah ditahan
POS-KUPANG.COM - Keluarga empat warga Nduga yang menjadi korban mutilasi di Mimika Papua mengajukan dua tuntutan saat para pelaku sudah ditahan untuk menjalani proses hukum.
Tersangka pelaku kasus mutilasi di Mimika melibatkan enam anggota TNI, yang terdiri dari dua perwira TNI (Infanteri) berinisial Mayor Inf HF dan Kapten Inf DK, dan sisanya berinisial Praka PR, Pratu RAS, Pratu RPC dan Pratu R.
Keluarga korban antara lain menolak pelabelan korban mutilasi di Mimika sebagai simpatisan atau anggota KKB Papua.
Anggota Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara menyampaikan hal itu ketika menjelaskan temuan sementara proses pemantauan dan penyelidikan kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Ndu di Kabupaten Mimika Papua, yang melibatkan oknum prajurit TNI dan masyarakat sipil.
Baca juga: Dewan Adat Papua Tuntut Persidangan Pelaku Kasus Mutilasi Dilakukan di Timika
Berikut rangkuman faktanya melansir dari Tribunnews.com dalam artikel 'Komnas HAM: Keluarga Korban Tuntut Para Pelaku Mutilasi 4 Warga di Mimika Dihukum Mati'.
1. Keluarga menuntut hukuman mati
Beka mengungkap keluarga korban kasus mutilasi di Mimika, Papua meminta para pelaku dihukum mati.
"Adanya tuntutan dari pihak keluarga tentang proses hukum dan keluarga juga menuntut hukuman mati dan proses peradilannya dilakukan di Mimika," kata Beka Ulung Hapsara saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI, Jakarta Pusat, Selasa (20/9/2022).
2. Ogah korban dicap anggota KKB Papua
Selain itu, kata dia, pihak keluarga juga menolak adanya pelabelan para korban sebagai simpatisan atau anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
"Dan keluarga menolak adanya pelabelan korban sebagai simpatisan atau anggota KKB," kata Beka.
3. Komunikasi terkhir
Keluarga korban, kata dia, juga menerangkan, terkait komunikasi terakhir keempat korban dengan keluarga dan latar belakang keempat korban.
Mereka, kata Beka, juga menerangkan informasi terkait proses rekonstruksi dan bagaimana mereka mencari korban dan mengdentifikasi korban.
"Kemudian informasi soal tujuan keempat korban pergi ke Kabupaten Mimika. Korban ini dari Nduga asalnya. Kemudian dia pergi ke Kabupaten Mimika.
Saya kira ini juga jaraknya cukup jauh. Kemudian menginformasikan kepada tim Komnas apa maksud dan tujuan mereka," kata Beka.
4. Telah periksa 19 saksi
Komnas HAM, kata dia, sejauh ini telah memeriksa 19 orang saksi.
Mereka di antaranya Penyidik Polres Mimika, Satgas Polda Papua, Penyidik Puspomad, Penyidik Pomdam XVII/Cenderawasih, Penyidik Subdenpom Mimika, Penyidik Satgasus Polda Papua, dan Penyidik Polres Mimika.
"Selain itu juga keluarga keempat korban, enam orang pelaku Anggota TNI dan tiga orang pelaku sipil," kata Beka.
Otak Mutilasi di Papua Ternyata Bukan Oknum Perwira TNI
Sebelumnya, otak mutilasi di Mimika Papua ternyata bukan perwira TNI yang kini menjadi tersangka kasus tersebut.
Otak mutilasi di Mimika, Papua itu adalah warga sipil berinisial RMH yang kini menjadi buronan polisi.
Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa mengatakan, RMH lah yang merencanakan dan mengenal para korban sebelum akhirnya memutilasi tubuhnya setelah dibunuh.
"Ada satu yang masih buron yaitu si RMH, itu otaknya, yang mengatur, yang menghubungi sampai mendesain keempat (korban) orang ini datang, sampai melakukan pembunuhan, diduga otaknya RMH. Keenam (anggota TNI) tersangka itu terlibat," ujarnya Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa di Jayapura, Selasa 6 September 2022.
Baca juga: Rekonstruksi Kasus Mutilasi di Mimika, Sejumlah Fakta Baru pun Terungkap
Lalu, bagaimana peran dua perwira TNI dan empat prajurit lain yang sudah ditetapkan tersangka?
Saleh menjelaskan, anggotanya secara sadar ikut merencanakan dan melakukan pembunuhan serta memutilasi keempat korban.
Enam anggota TNI yang terlibat kasus mutilasi ini, dua diantaranya perwira TNI, yakni perwira infanteri berinisial Mayor Inf HF dan Kapten Inf DK.
Sementara sisanya berinisial Praka PR, Pratu RAS, Pratu RPC dan Pratu R.
Dua perwira yang diketahui salah satunya seorang wakil komandan juga berperan di kasus ini.
"Kedua perwira ini tahu tapi ada pembiaran, makanya ini diduga beberapa kali sebelumnya pernah melakukan hal yang sama," kata dia.
Saleh mamastikan para tersangka dikenakan Pasal 340 UU KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati, seumur hidup atau paling rendah 20 tahun penjara.
Sedangkan dua oknum TNI masih diperiksa karena ikut menikmati uang hasil rampokan.
Kasus itu bermula ketika para pelaku berpura-pura menjual senjata api kepada korban.
Para korban tertarik dan mendatangi para pelaku dengan membawa uang Rp 250 juta, Senin 22 Agustus 2022.
Baca juga: KKB Papua Siapkan Aksi Balas Dendam, Sebby Sambom Bocorkan Rencana Mutilasi Prajurit TNI
Namun sesampainya di lokasi, para pelaku membunuhan memutilasi korban dan merampas uang ratusan juta rupiah tersebut.
Mayat-mayat korban mutilasi diletakkan dalam enam karung dan dibuang di Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua.
Korban pertama dan kedua ditemukan pada Jumat 26 Agustus 2022 dan Sabtu 27 Agustus 2022.
Sedangkan korban ketiga dan keempat ditemukan Senin 29 Agustus 2022 dan Rabu 31 Agustus 2022.
Bantah korban anggota KKB Papua
Sebelumnya beredar kabar berdasarkan kecurigaan para korban bahwa empat warga Nduga Papua yang dimutilasi adalah anggota KKB Papua.
Namun, Michael Hilman dari Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, membantah dugaan keterlibatan empat warga Mimika yang dimutilasi anggota TNI dengan sebagai simpatisan atau anggota Keompok Kriminal Bersenjata atau KKB Papua.
Michael Hilman yang sekaligus pendamping dari korban mutilasi, menceritakan kronologis kasus pembunuhan tersebut berdasarkan keterangan dari pihak keluarga pada Konferensi Pers yang diselenggarakan Koalisi Kemanusiaan untuk Papua, Rabu 7 September 2022.
Michael menyayangkan hampir setiap kasus pelanggaran HAM di Papua tidak pernah diselesaikan dengan serius oleh pemerintah Indonesia.
Menurutnya kasus mutilasi ini merupakan pembunuhan dengan cara baru terhadap masyarakat Papua.
"Lagi-lagi sekarang kami dihadapkan dengan cara yang baru, dengan pembunuhan, dengan mutilasi. Ini hal baru yang kami orang Papua rasakan, yang selama ini kami tidak pernah (kami rasakan)," kata Michael.
Ia berujar, memang pernah ada kejadian mutilasi dan pemerkosaan saat kejadian Biak Berdarah tahun 1998.
Akan tetapi baru 2022 kasus mutilasi seperti ini kembali dialami pada korban masyarakat Nduga yang kejadiannya di Mimika.
MIchael menegaskan ini adalah persoalan serius yang ia anggap sebagai pelanggaran berat yang dilakukan oleh aparat negara yaitu TNI Angkatan Darat.
"Perlu dilakukan keseriusan untuk menyikapi kasus ini oleh pemerintah Indonesia," kata MIchael.
Beberapa hal yang lebih membuat prihatin berdasarkan catatan Michael adalah keluarga korban tidak dihadirkan saat otopsi setelah ditemukan mayat.
Selain itu tidak ada dari pihak Basarnas maupun dari kepolisian Mimika yang membantu keluarga korban untuk mencari 4 korban ini sejak awal.
Selain itu tidak ada dari pihak Basarnas maupun dari kepolisian Mimika yang membantu keluarga korban untuk mencari 4 korban ini sejak awal.
Baca juga: Temui Panglima Tertinggi KKB Papua, Komnas HAM Berniat Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM
Dari hasil rekonstruksi, pembunuhan di duga itu dilakukan Itu di depan mushola, yang seolah-olah ada yang mau menciptakan konflik horizontal diantara masyarakat.
"Sampai saat ini kepalanya itu masih belum ditemukan dari 4 korban. Pelaku sudah dihadirkan dalam rekonstruksi, namun mereka tidak bisa menjelaskan dimana kepala dari 4 korban itu mereka itu berada. Artinya mereka itu bukan langsung dimutilasi tapi ditembak kepalanya dulu, dihancurkan, kemudian mereka dimutilasi, itu masih dugaan dari keluarga sementara ya," kata Michael.
Berikutnya ada 2 korban lagi, yang dari hasil rekonstruksi juga, para korban dibawa masuk ke dalam markas, lalu dibawa keluar dengan mobil.
Dari rekonstruksi tersebut ada dugaan 2 dari korban dibunuh di dalam pos TNI dan satu orang dibunuh di depan mushola.
Michael juga menegaskan terkait dengan dugaan yang diberitakan bahwa salah satunya adalah berafiliasi pada Tentara Pertahanan Nasional - Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) itu adalah tidak benar.
Keluarga maupun Bupati Kabupaten Nduga pun sudah mengkonfirmasi bahwa 4 korban adalah masyarakat sipil biasa. Mereka bukan berafiliasi untuk membeli senjata terhadap OPM.
"Sehingga di awal diberitakan media tidak terlebih dahulu dikonfirmasi keluarga, (tidak dikonfirmasi) baik ke Bupati maupun keluarga korban, langsung diberitakan. Jadi itu tidak benar," tegasnya.
Artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul Ogah Dicap Sebagai Anggota KKB Papua, Ini 2 Tuntutan Keluarga Korban Kasus Mutilasi di Papua
Ikuti berita Pos-kupang.com di GOOGLE NEWS