Berita Pemprov Hari Ini

Tiga Pola Utama yang Sebabkan Akses Perempuan dalam Kepemimpinan

terkait dengan  melihat pola alur waktu berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses kepemimpinan sektor publik.

Penulis: Oby Lewanmeru | Editor: Rosalina Woso
POS KUPANG.COM/OBY LEWANMERU
Pengamat Kebijakan Publik dari FISIP Undana, Laurensius Sayrani 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oby Lewanmeru

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Secara umum, kita dapat mengidentifikasi tiga pola utama dalam menjelaskan persoalan masih terbatasnya akses perempuan terkait dengan kepemimpinan di sektor publik.

Sejauh ini, meskipun sudah ada perubahan, isu kepemimpinan perempuan di sektor publik masih menjadi persoalan. 

Hal ini disampaikan Pengamat  Kebijakan Publik, FISIP Undana, Dr.Laurensius Sayrani,MPA, Selasa 8 Maret 2022.

Menurut Laurensius, jabatan-jabatan publik yang memiliki sumber daya kekuasaan dan otoritas terkait dengan penentuan kebijakan publik, dalam berbagai level dan jenis masih didominasi oleh laki-laki.

Baca juga: Kajati NTT Lantik Sejumlah Pejabat, Termaksuk Wakajati

Mesti diakui bahwa kepemimpinan di sektor publik strategis masih mencerminkan hegemoni maskulinitas. 

Dalam hal tersebut, ada tiga pola utama dalam menjelaskan persoalan masih terbatasnya akses perempuan terkait dengan kepemimpinan publik, yaitu 

Pola pertama, terkait dengan  melihat pola alur waktu berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses kepemimpinan sektor publik. 

Nampaknya, adanya perbedaan pengalaman dan waktu yang diperlukan oleh perempuan dan laki-laki.

Baca juga: Sekda NTB Ungkap Masalah Terbesar Pemprov Jelang MotoGP Mandalika

Perempuan cenderung memerlukan waktu lebih panjang dibandingkan laki-laki untuk menduduki jabatan pada sektor publik terutama jabatan publik strategis. 

Pola kedua, kita dapat mengidentifikasi  bentuk-bentuk hambatan yang dihadapi perempuan dalam upaya mengisi posisi kepemimpinan di sektor publik.

Hemat saya, faktor penghambat tersebut meliputi minimnya dorongan bagi perempuan; keengganan laki-laki untuk bekerja dengan dan untuk perempuan, khususnya menjalankan arahan dari perempuan; perbedaan gaya kepemimpinan perempuan dan laki-laki; dan kurangnya keinginan perempuan untuk mendapatkan kekuasaan.

Bersamaan dengan itu, kita berhadapan dengan nilai-nilai budaya dan sosial yang engendered yang mengasosiasikan laki-laki pada domain publik dan perempuan pada domain domestik, termasuk kepemimpinan yang dianggap milik laki-laki. 

Baca juga: Pemprov NTT Minta Hentikan Polemik Pelantikan Wabup Ende Erik Rede

Dalam situasi semacam ini, jenjang karir perempuan cenderung terhegemoni di bawah norma sosial terkait membangun keluarga, tanggung jawab domestik dan “tradisi mendahulukan karir suami". 

Pola ketiga, dalam organisasi publik, terutama birokrasi berkembang dan menguatnya konstruksi identitas perempuan (birokrat) menjadi perempuan administratif yang  pada batas tertentu justru menjebak perempuan dalam skema kompetisi tidak fair yang dialami perempuan dalam birokrasi.

Standar mekanistis dan formalistis birokrasi memaksa perempuan meminggirkan isu khas perempuan yang seharusnya menjadi identitas yang harus dipahami dalam skema kerja birokrasi. 

Bersamaan dengan itu, persepsi peran perempuan juga cenderung menjadi netral bahkan tereduksi menjadi sangat teknis.

Baca juga: Ini Rincian Anggaran Belanja Negara untuk Pemprov NTT Tahun 2022

Eksistensi perempuan kemudian dilihat sejauh mana perempuan kompatibel dengan skema teknis birokrasi dan disisi yang lain perempuan kemudian kehilangan imajinasi isu perempuan dalam birokrasi maupun debat kebijakan.

Dalam situasi ini, persoalan kita memang tidak hanya memikirkan representasi perempuan pada level simbolik pada struktur birokrasi namun lebih jauh mendorong reprsentasi subtantif yang dapat dimungkinkan dengan mendorong struktur birokrasi yang melampaui teknis-administratif saja.

Berbagai  pola ini merupakan bagian inheren dan konsekuensi dari struktur pranata gender (gender norms) yang berlaku yang terkonstruksi tidak hanya di ruang privat (kelurga).

Tetapi meluas dan mendalam melalui mekanisme sosialisasi dan kontrol di ruang sosial bahkan arena publik yang rasional seperti institusi pendidikan serta arena, institusi-institusi politik dan birokrasi yang merumuskan kebijakan publik.

Pada batas tertentu, perempuan mengalami situasi alienasi kapasitas intelektual, dimana akhirnya wacana dan kerangka pikir di ruang pubik seringkali didominasi oleh laki-laki.

Implikasi selanjutnya adalah perempuan menginternalisasikan rasa inferioritas termasuk dalam skema kepemimpinan di sektor publik.(*)

Berita Pemprov Hari Ini

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved