KKB Papua

Benny Wenda Hadir di COP26 Glasgow, Menjual Visi Negara Hijau Papua Barat

'Pemerintah yang menunggu' berharap untuk menciptakan 'negara hijau' pertama di dunia jika kemerdekaan tercapai.

Editor: Agustinus Sape
SBS News
Para pemimpin kemerdekaan Papua Barat meluncurkan Visi Negara Hijau mereka di Glasgow, Skotlandia. 

Benny Wenda Hadir di COP26 Glasgow, Menjual Visi Negara Hijau Papua Barat

'Pemerintah yang menunggu' berharap untuk menciptakan 'negara hijau' pertama di dunia jika kemerdekaan tercapai.

POS-KUPANG.COM - Negara-negara kaya telah menghabiskan dana yang signifikan untuk paviliun mencolok di dalam aula pertemuan Konferensi Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP26 di Glasgow Skotlandia untuk menjual rencana iklim mereka.

Para pemimpin gerakan kemerdekaan Papua Barat meluncurkan 'Visi Negara Hijau' mereka di sebuah tenda di seberang sungai dari tempat resmi.

Tahun lalu, United Liberation Movement for West Papua mendeklarasikan dirinya sebagai 'pemerintah yang menunggu' dan menominasikan pemimpinnya, Benny Wenda yang diasingkan, sebagai presiden sementara.

"Di Papua Barat, kami menghadapi genosida dan ekosida," katanya kepada SBS News.

"Mereka menghancurkan tanah kami, lingkungan kami atas nama pembangunan."

Ia merujuk pada Indonesia yang menguasai kawasan itu sejak tahun 1962.

“Dalam beberapa tahun terakhir kami telah melihat sejumlah besar perusahaan kelapa sawit masuk ke Papua Barat, dengan dukungan pemerintah Indonesia. Hasilnya adalah perusakan hutan hujan purba,” kata Raki Ap, juru bicara kampanye Free West Papua.

Papua Barat adalah setengah dari pulau New Guinea, rumah bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia.

Tetapi sumber daya alamnya yang melimpah telah menjadikannya tujuan yang menarik bagi perusahaan pertambangan dan bahan bakar fosil.

Ini adalah rumah bagi tambang Grasberg, yang berisi cadangan emas terbesar di dunia dan cadangan tembaga terbesar kedua. Suku-suku asli mengatakan hal itu telah menyebabkan kerusakan besar pada ekosistem kawasan itu.

Rencana Visi Negara Hijau akan menjadikan 'ecocide' sebagai tindak pidana serius dan memastikan perusahaan ekstraksi mematuhi standar lingkungan internasional atau menghentikan operasinya.

Ini juga akan mengembalikan perwalian sumber daya alam kepada kelompok-kelompok Pribumi.

"Bagaimana Anda bisa membuat kebijakan tanpa pemangku kepentingan yang paling penting, yaitu masyarakat adat?" tanya Pak Ap.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved