Opini Pos Kupang

SEE THE BIG PICTURE

Ini musim mangga jadi biar beta (saya) mulai dari mangga sa (saja). Orang yang tanam dan piara mangga akan menghargai buah mangga

Editor: Kanis Jehola
Dok Pos-Kupang.Com
Logo Pos Kupang 

Oleh : Matheos Viktor Messakh, Mantan Sports Editor pada The Jakarta Post.

POS-KUPANG.COM-Ini musim mangga jadi biar beta (saya) mulai dari mangga sa (saja). Orang yang tanam dan piara mangga akan menghargai buah mangga. Orang yang kerjanya tukang pencuri mangga hanya mau enaknya. Lempar mangga, kasi patah takis dan ranting. Makan abis buang kulit. Kencing di bawah pohon lai.

Bisnis olahraga juga begitu. Yang benar-benar membina atlet, mengerti strategi pembinaan olahraga akan sangat menghargai atlet. Tapi yang mau enak saja biasanya nampang kalau atlet menang, tapi sehabis itu mengabaikan kalau tidak mau dikatakan mencampakkan.

Ada banyak orang kecil di pelosok negeri yg mengabdikan diri untuk cabang olahraga tertentu karena minat dan kecintaan mereka pada cabang itu. Tak sedikitpun mereka dapat perhatian. Mereka merogoh kocek sendiri demi olahraga yang mereka cintai itu.

Mereka mengorbankan hidup mereka untuk membina orang-orang muda potensial. Orang-orang muda yang mungkin tak berpengharapan sebelumnya mereka asah menjadi permata berkilau. Nama-nama seperti Defry Palulu, Jansen Worahebi, muncul dari tangan-tangan dingin seperti itu.

Orang-orang yang mengabdi ini dianggap tak laku hanya lantaran mereka tidak suka pakai baju seragam berlogo dan topi baseball mirip para petinggi olahraga. Ada pelatih tinju di Waingapu yg mengantarkan banyak petinju laki-laki dan perempuan ke ajang nasional.

Tidak ada yang perhatikan. Hanya uang tiket ke ajang kejuaraan saja kadang harus bengkok leher dengan orang pinjam sana sini. Uang makan di tempat kompetisi dihemat-hemat, tidur bertumpuk antara pelatih dan atlet dalam satu ruangan demi membawa harum nama negeri.

Ada yang jualan ini dan itu supaya bisa ikut Kejurda, Kejurnas. Ada yang jadi tukang tambal ban untuk bisa tetap melatih atlet -atlet muda potensil angkat besi. Mereka berhasil menciprakan banyak juara. Kadang mereka gagal juara bukan karena tidak siap bertanding tapi karena tidak punya ongkos tiket. Sakit dan sedih mendengarnya.

Sementara ada cabang olahraga yang mendapat segala fasilitas tapi tak pernah membawa pulang satu medali pun. Tapi kalau yang miskin perhatian itu juara, geger satu dunia dan pejabat paling duluan berfoto bersama.

Jadi biarlah kejadian nona Ndapataka, nyong Seran jadi pelajaran yang sangat berharga. Itupun kalau mau belajar. Jangan cuma lihat mangga masak saja baru air liur meleleh, tapi cari mangga, beli mangga, tanam mangga supaya kebanggaan ada isinya.
Kita yang ikut-ikut marah juga berpikir.

Marah boleh. Tapi cek baik-baik dulu supaya marah ada isi. Cepat-cepat berkata biasanya malu sendiri. Dan missleading media bukan baru sekali. Berkali-kali. Tapi kita memang lebih percaya yang sensasional. Kalau yang tak beres ngurus dan suka nampang, yang sudahlah. Memang sudah kebiasaan, sudah sifat.

Lebih baik mari kita lihat big picture daripada footage media yang sepotong-sepotong. Kalau footage yang tak utuh bisa diplintir ke mana saja. Apalagi kalau sudah tidak suka, pasti akan dibesar-besarkan. Tanpa sadar kita juga suka melihat small picture: seperti apakah atlet dijemput atau tidak, kalau atlet menang kita berharap diangkat jadi ASN, dapat KPR atau tidak, naik haji atau tidak dan seterusnya. Itu semua wajar, namun hanyalah small pictures.

Big picture-nya adalah perhatian dan pembinaan olahraga memang buruk, teramat buruk. Sehingga tidak heran prestasi buruk. Alokasi dana nol kaboak. Fund raising cuma harap pejabat dan orang kaya. Pemilihan pengurus jadi politik. Boro-boro mau pikir tentang strategy dan pembinaan, boro-boro mau talent hunting. Boro-boro mau sports surveilance. Jauh om, tante. Jangan heran pembajakan atlet marak. Karena orang tahu kita kaya potensi tapi miskin fasilitas, miskin perhatian, miskin strategi dan lebih parah miskin kemauan baik.

Kalau soal potensi, kita kurang apa? Jangan pikir NTT cuma jago di olahraga yang terkesan keras seperti tinju, muaythay, kempo dan seterusnya. Dalam olahraga yang bukan tradisi kita seperti cricket saja kita juara.

Altet-atlet kita diajari mulai dari nol dalam cabang yang bergengsi di negara-negara Commonwealth itu dan kemudian menjuarai beberapa event nasional. Coba bayangkan atlet-atlet kita dilatih rugby. Saya yakin "putus kayu batu" itu.

Halaman
12
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved