Opini Pos Kupang
Membebaskan yang Terpasung (Sebuah Apresiasi untuk Bupati Manggarai)
Dua bulan terakhir paling kurang ada dua peristiwa penting yang menunjukkan kepedulian dan keberpihakan Bupati Manggarai
Akibat stigmatisasi, pasien melakukan tindakan kekerasan di dalam keluarga dan komunitas. Penelitian ini juga mengungkapkan, selain melakukan tindakan kekerasan, ODGJ juga menjadi korban tindakan kekerasan (Bdk. Muhammad Arsyad Subu, Dave Holmes, dan Jayne Elliot, "Stigmatisasi dan Perilaku Kekerasan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa di Indonesia", dalam Jurnal Keperawatan Indonesia, Edisi November 2016, hlm. 192-196).
Nicolas Rüsch, Matthias C. Angermeyer, dan Patrick W. Corrigan dalam kajian tentang masalah kesehatan mental melukiskan perjuangan para penderita gangguan jiwa sebagai sebuah perjuangan rangkap.
Pertama, mereka harus berjuang menghadapi sakit dan penyakit yang mereka derita. Kedua, mereka harus berjuang menghadapi stigma dari masyarakat (Nicolas Rüsch, Matthias C. Angermeyer, dan Patrick W. Corrigan, "Mental Illness Stigma: Concepts, Consequences, and Initiatives to Reduce Stigma", dalam European Psychiatry Journal, dalam 10.1016/j.eurpsy.2005.04.004).
Praktik pemasungan bukanlah solusi dalam menangani ODGJ. Pasung tidak akan menyembuhkan ODGJ, melainkan hanya akan menambah penderitaannya dan keluarganya. Pasung bukan hanya merampas kebebasan ODGJ, tetapi juga sebagai sebuah bentuk pelecehan terhadap harkat dan martabat ODGJ.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa disebutkan bahwa salah satu dasar pertimbangan penetapan peraturan ini adalah pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa masih menjadi masalah kesehatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
Mengedukasi Masyarakat
Dalam banyak masyarakat, gangguan jiwa sering dihubungkan dengan gangguan roh jahat, hukuman atas kesalahan, dan berbagai kepercayaan tradisional lainnya.
Akibatnya, keluarga memilih untuk membawa ODGJ ke dukun atau `orang pintar'. Andreas Kurniawan, dokter spesialis kejiwaan (psikiatri), menegaskan bahwa gangguan kejiwaan adalah kondisi medis yang disebabkan oleh terganggunya fungsi otak (https://www.voaindonesia.com, 16/10/2019).
Karena itu, apa yang dilakukan oleh Bupati Manggarai adalah bagian dari proses edukasi untuk menyadarkan masyarakat bahwa gangguan jiwa dapat disembuhkan melalui proses pengobatan dan rehabilitasi.
Proses edukasi seperti ini perlu terus digalakkan agar masyarakat memahami masalah gangguan jiwa secara lebih baik. Hasil penelitian Nurul Hartini, dkk. menunjukkan bahwa pengetahuan yang lebih baik tentang kesehatan jiwa dapat mengurangi stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6217178/).
Proses edukasi ini juga harus didukung oleh penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan untuk menangani ODGJ. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa disebutkan bahwa salah satu tugas Pemerintah Daerah Kabupaten adalah "menjamin ketersediaan sarana dan prasarana termasuk obat dan alat kesehatan yang diperlukan di tingkat kabupaten/kota, dan menjamin ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat primer dan rujukan dalam melakukan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ sesuai dengan kemampuan".
Jika tugas ini dijalankan dengan baik, maka cita-cita membebaskan yang terpasung bukanlah sebuah utopia belaka. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin kesejahteraan warganya, termasuk juga ODGJ. Karena itu, jika dalam satu daerah masih banyak ODGJ yang dipasung, maka itu menjadi salah satu indikator kegagalan pemerintah. (*)
Baca Opinis Pos Kupang Lainnya