Opini Pos Kupang

Membebaskan yang Terpasung (Sebuah Apresiasi untuk Bupati Manggarai)

Dua bulan terakhir paling kurang ada dua peristiwa penting yang menunjukkan kepedulian dan keberpihakan Bupati Manggarai

Editor: Kanis Jehola
Dok Pos-Kupang.Com
Logo Pos Kupang 

Oleh : Will Lerisam, Mahasiswa STFK Ledalero

POS-KUPANG.COM-Dalam kurun waktu dua bulan terakhir paling kurang ada dua peristiwa penting yang menunjukkan kepedulian dan keberpihakan Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit terhadap nasib orang dengan gangguan jiwa (selanjutnya disebut ODGJ) di Kabupaten Manggarai.

Peristiwa pertama terjadi di Muwur, Desa Wae Mantang, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai pada 19 Agustus 2021. Saat itu, Bupati Manggarai melepas dua orang kakak-beradik yang menderita gangguan jiwa dari pasungan (https://ekorantt.com, 20/08/2021).

Peristiwa kedua terjadi pada 30 Sepetember 2021. Saat itu, Bupati Manggarai melepas pasung 2 ODGJ. Kedua ODGJ yang dilepas pasung itu adalah KW (34) di Kampung Dongang dan YTJ (65) di Kampung Lempe, Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong (https://kupang.tribunnews.com, 30/09/2021).

Bukan hanya sebatas melepas pasung, Bupati juga memberikan solusi bagi proses pemulihan kondisi kesehatan ODGJ dengan membangun kerja sama dengan Pusat Rehabilitasi dan Klinik Gangguan Jiwa Renceng Mose.

Bupati sendiri berjanji untuk mengalokasikan anggaran khusus untuk perawatan ODGJ. Ini tentunya sebuah langkah maju dalam merawat nilai-nilai kemanusiaan dalam pembangunan.

Baca juga: Bupati Manggarai Pantau Pelaksanakan Seleksi Guru PPPK

Langkah ini perlu diapresiasi mengingat belum banyak pemimpin daerah di NTT ini yang menunjukkan keberpihakan dan kerja nyata terhadap ODGJ. Kiranya Pemerintah Kabupaten Manggarai konsisten dengan langkah yang telah ditempuh ini, mengingat masih ada sekitar 27 ODGJ yang dipasung seturut informasi yang disampaikan oleh Bupati kepada media.

Pasung Bukan Solusi

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa dijelaskan bahwa "pemasungan adalah segala bentuk pembatasan gerak ODGJ oleh keluarga atau masyarakat yang mengakibatkan hilangnya kebebasan ODGJ, termasuk hilangnya hak atas pelayanan kesehatan untuk membantu pemulihan".

Baca juga: Bupati Manggarai Instruksikan KBM Bisa Tatap Muka Terbatas

Praktik pemasungan merupakan cara tradisional dalam menangani ODGJ. Di tengah kemajuan dalam berbagai bidang, termasuk juga dalam bidang kesehatan, cara ini masih dipakai hingga saat ini.

Dalam laporan yang berjudul "Hidup di Neraka: Kekerasan Terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia" yang dirilis pada tahun 2016, Human Rights Watch menulis demikian: "Di Indonesia, lebih dari 57.000 orang dengan disabilitas psikososial (kondisi kesehatan mental) setidaknya sekali dalam hidup mereka pernah dipasung -dibelenggu atau dikurung di ruang tertutup.

Meski pemerintah melarang pasung sejak 1977, keluarga, penyembuh tradisional, dan staf rumah sakit jiwa dan institusi lainnya terus membelenggu orang dengan disabilitas psikososial, dalam beberapa kasus selama bertahun-tahun.

Karena stigma umum dan tak memadainya layanan pendukung, termasuk layanan kesehatan mental, orang dengan disabilitas psikososial sering berakhir dirantai atau terkunci di institusi-institusi yang penuh sesak dan tidak sehat, tanpa persetujuan mereka, di mana mereka menghadapi kekerasan fisik dan seksual, dan perawatan paksa termasuk terapi electrocovulsive, pengasingan paksa, ditahan, dan pemaksaan kontrasepsi"(https://www.hrw.org, 20/03/2016). Inilah potret kehidupan ODGJ. Situasi ini tentunya sangat memprihatinkan.

Kehadiran ODGJ sering kali dilihat sebagai ancaman dalam masyarakat. Dengan dalil demi menjaga keamanan, keluarga dan juga masyarakat memilih untuk memasung ODGJ.

Halaman
12
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved