Opini Pos Kupang
Mengapa Posyandu Tetap Harus Buka di Masa Pandemi
Bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda, dunia sudah tidak berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan
Oleh: dr. Rachmat Willy, M.Kes, Health Specialist WVI Zona NTT
POS-KUPANG.COM- Bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda, dunia sudah tidak berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, menghilangkan kelaparan dan segala bentuk kekurangan gizi pada tahun 2030.
Pandemi dan resesi ekonomi global terkait pandemi, merupakan kemunduran parah bagi kemajuan yang sudah tidak mencukupi untuk memenuhi target gizi global yang ditetapkan pada tahun 2025 untuk stunting, wasting, anemia ibu (biasa disebut dengan tiga beban malnutrisi) dan target menyusui.
Kontraksi ekonomi terkait pandemi dan gangguan pada sistem pangan dan kesehatan sekarang mengancam untuk memperburuk kekurangan gizi ibu dan anak di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Indonesia adalah contoh utama dari "tiga beban malnutrisi" atau "beban rangkap tiga malnutrisi" tersebut, bahkan sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Lebih dari 7 juta anak balita mengalami stunting dan Indonesia menempati peringkat kelima tertinggi di dunia untuk stunting anak (Riskesdas, 2018).
Baca juga: Cat Pesawat Kepresidenan Di Tengah Pandemi Covid-19, Demokrat Singgung Nyawa Presiden, Ada Apa?
Lebih dari 2 juta anak di bawah usia lima tahun menderita wasting parah (berat badan rendah dibanding tinggi badannya), sementara 2 juta lainnya kelebihan berat badan atau obesitas. Hampir separuh dari semua ibu hamil mengalami anemia karena makanan yang mereka konsumsi kekurangan vitamin dan mineral (zat gizi mikro) yang dibutuhkan.
Tantangan Indonesia akibat beban rangkap tiga ini sangat kompleks dan kemungkinan akan diperburuk oleh pandemi Covid-19. Malnutrisi pada anak-anak dapat disebabkan oleh berbagai penyebab (penyebab langsung, penyebab tidak langsung, dan pokok masalahnya).
Tiga penyebab langsung yang paling umum adalah: pertama, pemberian ASI yang tidak memadai dan pola makan yang buruk, ditambah praktik perawatan yang kurang optimal; kedua, gizi dan perawatan yang tidak memadai untuk wanita hamil dan ibu; dan ketiga, tingginya tingkat penyakit menular, terutama karena lingkungan hidup yang tidak sehat dan akses yang buruk ke layanan kesehatan (Unicef, 2018). Faktor-faktor ini semakin diperparah oleh kemiskinan yang semakin meluas, pengangguran dan tingkat pendidikan yang rendah.
Lalu bagaimana dengan NTT? Provinsi ini mencatat angka penurunan jumlah stunting dari tahun ke tahun sejak 2018 hingga 2020. Hanya memang kita harus menunggu survei semacam Riskesdas untuk dapat melihat gambaran yang sebenarnya dari kinerja penurunan angka stunting ini.
Baca juga: Indonesia Disebut Negara Terburuk di Dunia Tangani Pandemi Covid-19, Pemerintah Ungkap Fakta ini
Apresiasi tetap boleh diberikan walau tetap tidak boleh lengah melihat penurunan angka-angka ini. Kadangkala fokus pada angka stunting justru melupakan angka-angka gangguan gizi akut yang justru banyak ditemui di NTT yaitu wasting dan underweight.
Bagaimana cara kita mengetahui anak balita menderita underweight atau wasting? Tentu dengan melihat hasil penimbangan rutin yang dilakukan. Tentu dengan mengukur tinggi badan dan membandingkan dengan berat badan untuk mengetahui apakah anak itu wasting atau tidak. Dimana semua pengukuran itu terjadi? Di Posyandu.
Data dari BKKBN Juni 2021, jumlah Posyandu yang tercatat di Indonesia sebanyak 256,879 dan untuk Posyandu yang buka selama Juni 2021 adalah 43.540 atau 22,17 persen dari jumlah Posyandu yang ada secara nasional. Artinya, masih sedikit sekali Posyandu yang buka selama masa pandemi ini.
Dengan persentase itu jumlah balita yang diukur berat badannya sebanyak 1.318.574 dan jumlah balita yang diukur tinggi badannya sebanyak 1.236.557. Masih sangat jauh dari target balita yang seharusnya dipantau pertumbuhan dan perkembangannya yaitu sejumlah 17.961.425. Angka ini adalah jumlah sasaran balita yang disertakan dalam aplikasi pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat atau yang disebut e-PPGBM.
Kajian cepat Wahana Visi Indonesia (WVI) pada Mei 2020 dan diperkuat dengan survei kerentanan pada Juni 2021 masih menemukan masalah akses layanan kesehatan untuk ibu dan anak yang masih rendah.