Kisah Aloysius Fahik Perjuangkan Honor Rp 200 Ribu Hingga Berhadapan dengan Hakim dan Polisi
Pribahasa ini cocok melukiskan kisah hidup Aloysius Fahik (48), warga Desa Takirin, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu
Penulis: Teni Jenahas | Editor: Kanis Jehola
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Teni Jenahas
POS-KUPANG.COM, ATAMBUA - Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pribahasa ini cocok melukiskan kisah hidup Aloysius Fahik (48), warga Desa Takirin, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu.
Aloysius yang berprofesi sebagai petani sekaligus ketua tim verifikasi program Desa Takirin ini mendapatkan nasib malang bertubi-tubi.
Honor selama satu tahun yang nilainya hanya Rp 200 ribu tidak dibayar pemerintah Desa Takirin. Ketika menuntut haknya, malah ia dikenakan denda adat lagi karena dituduh menghina dan mencemarkan nama baik Kepala Desa di muka umum sehingga diproses oleh Hakim Perdamaian Desa (HPD).
Belum tuntas berhadapan dengan hakim perdamaian desa, Aloysius dipanggil lagi oleh penyidik Polsek Tasifeto Timur untuk diminta keterangan atas kasus dugan tindak pidana penghinaan yang dilaporkan Kades Takirin, Engelbertus Foa.
Baca juga: 3 Keuntungan Bagi Guru Honorer Bila Jadi Guru PPPK, Seleksi CASN Tahun 2021 Masih Dibuka
Aloysius Fahik ketika ditemui wartawan di Polsek Tastim, Rabu 28 Juli 2021 mengungkapkan, rasa kesal dan kecewa dengan Kades Takirin.
Pria dua anak ini menuturkan, kasus tersebut bermula ketika ia meminta honor sebagai ketua verifikasi program desa yang sejak tahun 2020 sampai 2021 belum dibayar. Sedangkan aparat desa lainnya sudah terima honor. Ia sering meminta honornya namun jawaban Kades belum ada uang. Setiap kali minta honor jawaban Kades selalu demikian. Ia hanya bersabar.
Suatu waktu, saat buat rumah adat, Aloysius melihat Kades Takirin bermain judi mengeluarkan uang 50 ribu dan 100 ribu beberapa kali dari sakunya untuk berjudi. Melihat hal itu, muncul rasa kesal bahkan emosi dari Aloysius karena honornya sebesar Rp 200 ribu tidak dibayar tapi untuk berjudi ada uang. Spontan saja, Aloysius mengungkapkan rasa kesalnya bernada bertanya.
"Saya hanya bilang, bapa desa main judi ada uang tapi saya punya gaji tidak kasih. Itu saja saya omong. Ada saksi kok. Kepala desa tidak ada reaksi setelah saya omong malam itu", papar Aloysius.
Baca juga: Dua Tahun Kepemimpinan Tahun-Konay di Kabupaten TTS, Guru Honorer Tak Dapat Insentif, Ini Pemicunya
Aloysius tidak menduga, ucapannya berbuntut panjang. Pagi harinya ia mendapat informasi kalau ia didenda karena dinilai memfitnah kades di muka umum. Aloysius menanggapinya dengan tenang dan menepis kalau ia bukan memfitnah tapi menuntut hak yang sudah setahun tak kunjung dibayar. Sementara ia punya kebutuhan. Ada anak sekolah di bangku SMA.
Tiga hari setelah itu, Aloysius dipanggil ke kantor desa oleh hakim perdamaian desa untuk klarifikasi. Tapi Aloysius tidak langsung menghadap HPD dengan beberapa pertimbangan.
Keluarga Aloysius, Regalinda Rika (32) menuturkan, biasanya urusan dengan HPD sudah berkaitan dengan denda adat dan nilainya sudah sampai juta sehingga sebelum memenuhi panggilan dari desa, ia bersama Aloysius dan mantan kades menghadap bupati Belu. Karena bupati tidak ada, mereka bertemu wakil bupati Belu. Wabup Belu mengarahkan mereka ke dinas PMD dan mereka bertemu kabid pemerintah desa.
Dari PMD, lanjut Rika, meminta kepala desa agar persoalan yang diadukan Aloysius dan beberapa mantan aparat yang belum dibayar gajinya diselesaikan, Senin 26 Juli 2021. Hari itu, kades berjanji akan membayar semua hak dari Aloysius dan Regalinda Rika selaku mantan bendahara desa.
Sedangkan masalah dugaan penghinaan yang dilakukan Aloysius dimediasi oleh camat dan kabid pemdes di ruang kades Takirin saat itu. Tujuannya supaya masalah itu diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, kades Takirin belum memutuskan saat itu karena ia harus menyampaikan kepada keluarganya dan tetua adat.
Pada prinsipnya Aloysius dan keluarga menghormati budaya. Apapun konsekuensinya, mereka tetap memulihkan nama baik kades asalkan sesuai aturan. Sebab dalam urusan adat selalu ada bijaksana. Apalagi ini masalah masyarakat dan pemimpinnya. Karena belum ada kata sepakat, tim mediasi pulang ke rumah mantan bendahara.
Lanjut Rika, sehari kemudian, Aloysius dipanggil lagi ke kantor desa untuk mengurus masalah tersebut di hadapan HPD. Tapi tuah adat yang mengurus diganti lagi. Berbeda dengan nama tuah adat dalam surat panggilan pertama. Saat itu, Aloysius datang ke kantor desa dan menandatangani surat pernyataan bersedia menyelesaikan secara adat.
Setelah tandatangan berita acara, hakim perdamaian desa memberikan nota tentang kebutuhan yang harus dipenuhi kedua pihak bermasalah, baik Aloysius maupun kades Takirin.
Keduanya dikenakan leges di tingkat HPD masing-masing menyediakan uang Rp 1,5 juta untuk pengadaan babi, bir dua botol, habok dua botol, rokok surya 5 bungkus, beras 5 Kg, sirih pinang dan kopi gula secukupnya. Semua barang tersebut harus ada, baru HPD akan bicarakan masalahnya.
Karena persiapan denda adat yang dibebankan sangat besar, Aloysius keluar dari dalam kantor bertujuan mencari uang ke keluarga namun tidak dapat. Selamat dua jam, ia mencari pinjaman uang tapi tidak berhasil. Lalu Aloysius kembali ke kantor desa dan saat itu ia dimarahi sama HPD. Karena tidak punya uang, proses penyelesaian masalah tidak berhasil.
Selasa sore, Aloysius mendapat surat panggilan dari polisi untuk diminta keterangan atas laporan dari Kepala Desa Takirin dengan nomor polisi B/58/VII/2021/Sektor Tastim.
Terhadap masalah ini, Aloysius mengaku siap menghadapinya. Apapun konsekwensinya ia siap terima, entah pidana penjara atau tidak.
Kades Takirin, Engelbertus Foa yang dikonfirmasi Pos Kupang. Com, Kamis 29 Juli 2019 mengatakan, ia melaporkan Aloysius Fahik ke polisi karena Aloysius telah menghina dirinya.
"Iya saya lapor dia karena telah menghina saya. Dia tidak hanya menghina saya sebagai Kepala Desa tapi juga menghina pemerintah desa. Kalau dia bilang dia tidak menghina, itu hak dia. Tapi saya juga punya saksi", kata Engel.
Ia menjelaskan, masalah tersebut pernah diselesaikan di desa melalui HPD namun Aloysius yang tidak hadir untuk menyelesaikan masalah.
Mengenai honor Aloysius, kata Engel, bendahara desa sudah pernah panggil Aloysius untuk menerima honornya di kantor desa tapi Aloysius tidak mau datang. Bahkan istri Kepala desa pernah panggil ke rumah tapi juga tidak datang.
"Kita bukan tidak bayar tapi bayar. Bayar honor kan harus di kantor desa. Panggil untuk terima honor tidak mau datang. Kalau bendahara sampai cari dia ke rumahnya, itu berarti pemerintah sudah berniat baik", ujar Engel.
Engel mengaku, pemerintah desa selalu memperhatikan hak masyarakatnya tapi menuntut hak bukan dengan cara menghina orang lain dengan kata-kata yang tidak pantas. (*)
Berita Kabupaten Belu Lainnya
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/kisah-aloysius-fahik-perjuangkan-honor-rp-200-ribu-hingga-berhadapan-dengan-hakim-dan-polisi.jpg)