Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Selasa 20 Juli 2021: Saudara-saudari

Saya berimajinasi saat membaca kisah tentang Yesus didatangi oleh ibu dan saudara-saudari-Nya. Saya membayangkan diri saya hadir saat itu.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
RD. Fransiskus Aliandu 

Renungan Harian Katolik Selasa 20 Juli 2021: Saudara-saudari (Matius 12:46-50)

Oleh: RD. Fransiskus Aliandu

POS-KUPANG.COM - Saya berimajinasi saat membaca kisah tentang Yesus didatangi oleh ibu dan saudara-saudari-Nya. Saya membayangkan diri saya hadir saat itu.

Yesus sedang mengajar di sebuah rumah. Orang-orang berjubel mendengarkan Dia. Tiba-tiba menyeruak ke hadapan-Nya seseorang.

Orang itu berkata kepada-Nya, "Mande, cece, koko dan ade-ademu ada di luar. Mereka mau ketemu dengan-Mu".

Saya terpana kaget dengan jawaban Yesus, "Emangnya mande gue siapa sih? Siapa sih abangku?"

Baca juga: Renungan Harian Katolik Senin 19 Juli 2021: Tanda Biasa

Dalam hati saya membatin, "Lho kurang ajar benar nih orang. Masa Dia nggak kenal sama mama dan abang adek-nya sendiri?"

Namun belum sempat memori saya menggapai kisah Malin Kundang yang diabadikan dengan arca manusia batu di pantai Air Manis Padang, saya justru dibuat kian terpana saat Dia berkata sambil menunjuk ke arah saya dan beberapa orang lain, "Mereka ini lho ibu dan saudara-saudariku!".

Perasaanku bercampur baur. Kaget dan tak percaya berbaur rasa senang nggak ketulungan. Bagaimana tidak! Dia menyebut bahkan mengakui  di hadapan orang banyak bahwa saya adalah saudara-Nya. Apa nggak luar biasa?

Hanya kemudian saya terjaga-siuman dari imajinasiku. Ternyata saya sedang membaca dan bermenung tentang kisah yang terjadi 2000-an tahun yang silam itu.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Senin 19 Juli 2021: Sesungguhnya yang Ada di Sini Melebihi Yunus

Tapi kejadian itu nyata dan pernyataan itu benar keluar dari mulut Yesus. Maka saya berusaha mendalami pernyataan Yesus, "Ini Ibu-Ku dan saudara-saudari-Ku. Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga, dia-lah saudara-Ku, dia-lah saudari-Ku, dia-lah ibu-Ku".

Pernyataan Yesus itu sungguh daAHsyat, bisa dibilang kontroversial. Tapi kalau didalami, tentu bukan mengandung arti tentang pemutusan hubungan darah.

Sekali lagi pasti bukan! Pernyataan itu justru mengenai tidak kekalnya segala hubungan yang berlandaskan hal-hal yang dari sendirinya tidak mungkin kekal.

Saya teringat kata-kata-Nya dalam percakapan-Nya dengan Nikodemus, "Apa yang dilahirkan daging adalah daging" (Yoh 3:6).

Saya berusaha mengerti. Dengan pernyataan itu, Yesus ingin menyatakan bahwa Maria memang ibu-Nya. Tetapi saya dan siapa pun dapat menjadi ibu-Nya, menjadi saudara-saudari-Nya.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Minggu 18 Juli 2021: Hati Berbelas Kasihan

Yesus sama sekali tidak menyangkal adanya hubungan darah antara Dia dengan keluarga-Nya. Ia hanya mau mengatakan bahwa setiap orang yang benar-benar menjadi murid-Nya, secara otomatis pula termasuk keluarga-Nya.

Oh begitu toh ! Berarti untuk masuk ke dalam ikatan hubungan keluarga dengan Yesus, saya tidak perlu bernama Maria, mengandung dan melahirkan-Nya secara alamiah; saya tidak perlu masuk dalam kategori harus punya hubungan daging darah dengan diri-Nya.

Saya cukup menjalin hubungan mesra dengan Yesus; mempunyai hubungan yang akrab dengan-Nya. Hubungan itu seharusnya demikian hebat sehingga terjadi semacam peleburan dan penyatuan dua kehendak, sehingga akhirnya seperti kata Paulus, "Bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam Aku" (Gal 2:20).

Kalau begitu saya harus selalu bangun, jaga hubunganku dengan Yesus. Saya harus ikuti Dia dan meniru pola, gaya dan kata-kata ajaran-Nya.

Kiranya menjadi saudara-saudari Yesus berarti, saya pun menjadikan dan memperlakukan sesama, tetangga, rekan kantor, atau siapa pun insan manusia sebagai saudara-saudari.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Sabtu 17 Juli 2021: Buluh dan Sumbu

"Iman menuntun orang beriman untuk melihat orang lain sebagai saudara laki-laki atau saudara perempuan yang harus didukung dan dicintai", pesan Paus Fransiskus dan Ahmad Al-Tayyeb, Imam Besar Al-Azhar dalam Dokumen Tentang Persaudaraan Manusia.

Lebih lanjut, "Atas nama persaudaraan ini yang terkoyak oleh politik ekstemisme dan perpecahan, oleh sistem-sistem yang mencari keuntungan tak terkendali atau oleh kecenderungan ideologis penuh kebencian yang memanipulasi perilaku dan masa depan laki-laki dan perempuan", saya menjadikan persaudaraan dan kebaikan bersama sebagai nilai transendental yang menjadi titik tolak untuk hidup dan karya.*

Renungan harian lainnya

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved