Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Sabtu 17 Juli 2021: Belajar dari “Hamba Yahwe”
Orang-orang Farisi bersekongkol membunuh Yesus. Kata “bersekongkol” menyiratkan ada banyak orang yang bersatu dalam rencana pembunuhan itu.
Renungan Harian Katolik Sabtu 17 Juli 2021: Belajar dari “Hamba Yahwe” (Mat 12: 14-21)
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Orang-orang Farisi bersekongkol membunuh Yesus. Kata “bersekongkol” menyiratkan ada banyak orang yang bersatu dalam rencana pembunuhan itu.
Latar belakang persekongkolan itu adalah reaksi kaum Farisi terhadap ajaran dan tindakan Yesus yang memesonakan hati begitu banyak orang. Yesus seakan melucuti secara drastis “kepercayaan” publik kepada kaum Farisi.
Mereka hanya mengajar tapi Yesus membuat mukjizat. Yesus menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya, pada hari Sabat.
Orang-orang Farisi bersekongkol untuk membunuh Yesus (Mat 12:14). Tetapi, Yesus mengetahui maksud mereka, lalu menyingkir dari sana (Mat 12:15).
Baca juga: Renungan Harian Katolik Jumat 16 Juli 2021: Salus Animarum
Keputusan kaum Farisi yang bersekngkol untuk membunuh Yesus menjadi bukti terang-terangan bahwa mereka menjadi kubu yang anti Kristus.
Keputusan kaum Farisi bermotif jahat ini justru semakin menempatkan mereka pada keterpencilan pengaruh dari orang banyak yang semakin setia mengikuti Yesus.
Boleh jadi, orang banyak sudah muak dan bosan dengan perilaku kaum Farisi yang mencari pembenaran diri dengan membenci Yesus dan ajaran-Nya.
Ajaran Yesus selalu segar dan inspiratif yang membuka wawasan baru dalam memahami dan memaknai hukum taurat.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Jumat 16 Juli 2021: Ibadat Sejati
Melalui ajaran Yesus, terutama kecaman dan kritik terhadap praktik hidup keagamaan ahli Taurat dan kaum Farisi, orang banyak menjadi sadar bahwa golongan elite dalam bangsa dan agama Yahudi ini ternyata memanfaatkan “privilesenya” untuk lebih berpengaruh secara ekonomi dan politik.
Maka orang banyak seakan “keluar” dari jerat bulus ahli Taurat dan kaum Farisi. Mereka tetap mengikuti Yesus karena mendapatkan horizon baru dalam gagasan dan karya-Nya.
Mereka berani berbeda pikiran dan sikap dengan para pemimpin agama mereka. Mereka mencari Yesus karena ingin mendapatkan rahmat pembebasan dari “sakit” fisik dan rohani.
Yesus pun menyembuhkan mereka semuanya. Tetapi, Yesus melarang orang banyak untuk memberitahukan siapa Dia itu kepada orang lain (Mat 12: 15b-16).
Baca juga: Renungan Harian Katolik Kamis 15 Juli 2021: Beban Hidup
Menurut Penginjil Matius, reaksi berbeda dari orang banyak dan kaum Farisi atas ajaran dan mukjizat Yesus semakin terang menjelaskan siapa sesungguhnya Yesus itu.
Yesus terlalu jauh dan tinggi melampaui keberadaan dan ajaran serta pengaruh ahli Taurat dan kaum Farisi di tanah Palestina.
Penginjil Matius mengutip ramalan Nabi Yesaya mengenai “Hamba Yahwe” (Yes 42:1-4) untuk membuka kesadaran orang banyak agar mengerti kehadiran Yesus dan betapa mulia misi-Nya di atas bumi ini.
Yesus adalah perwujudan paling konkret dari predikat “Hamba Yahwe.” Dia dipilih dan dikasihi Allah.
Dia diutus Allah untuk memaklumkan hukum-hukum Tuhan sekaligus merenovasi otak dan pikiran ahli Taurat dan kaum Farisi.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Rabu 14 Juli 2021: Syukur Indah
Proses pembaruan ajaran Kitab Taurat justru sangat melukai hati para ahli Taurat dan kaum Farisi karena memang selama ini tafsiran yang mereka ajarkan sangat membelenggu kebebasan nurani orang-orang kecil yang tak berdaya.
Agama menjadi sesuatu yang elitis, milik orang-orang yang punya kuasa politik dan ekonomi semata.
Konsekuensi logis, ajaran dan mukjizat Yesus pasti sangat ditentang oleh kedua kelompok elite agama Yahudi ini.
Tapi, meskipun ajaran-Nya ditentang, Dia tidak akan berbantah. Yesus itu Allah. Dia bisa melakukan apa saja untuk “menghentikan” laju penyesatan para ahli Taurat dan kaum Farisi.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Selasa 13 Juli 2021: Dosa Nirtindakan
Tapi “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang” (Mat 12: 20).
Yesus menjadi kokoh bagaikan batu karang. “Tuhan Allah menolong aku, sebab itu aku tidak mendapat noda. Sebab itu aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu bahwa aku tidak akan mendapat malu” (Yes. 50:7).
Apa yang bisa kita pelajari dari Yesus dalam catatan Matius hari ini?
Pertama, kita belajar bagaimana menghadapi orang-orang yang bermaksud jahat kepada kita.
Jalan perlawanan bukan dengan kekerasan tetapi dengan damai. Kita bisa berdialog tapi tetap berpegang teguh pada kebenaran Allah.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Minggu 11 Juli 2021: Belajar dari Amos
Jika menemui jalan buntu, baiklah kita “menyingkir” tapi bukan menyerah kalah. Kita bisa tetap berjuang dalam kesunyian. Pelayanan kasih tidak perlu tampak megah dan menonjol.
Kasih adalah medium advokasi yang kerjanya pelan tapi pasti, tersembunyi tapi berarti. Di titik ini, jangan kita lupakan pesan Yesus: mendoakan mereka (Mat 5:44).
Kedua, kita mesti selalu berjuang sebisa mungkin sepanjang hidup untuk menghindarkan diri dari pikiran-pikiran jahat yang hendak “membunuh” sesama. Mengapa?
Keinginan jahat itulah yang menyingkirkan Tuhan dari diri dan hidup kita. Kita tahu bahwa Tuhan memang datang untuk orang berdosa.
Tentu saja orang berdosa itu mesti mau bertobat dan mau mendekati-Nya dengan maksud yang baik (Luk 5:32), bukan mendekati-Nya dengan maksud jahat seperti orang-orang Farisi tersebut.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Sabtu 10 Juli 2021: Hidup yang Menginspirasi
Orang yang berniat jahat adalah orang angkuh yang merasa diri sangat berkuasa, entah secara politik maupun ekonomi.
Sebaliknya, kita sadar sebagai orang lemah maka Tuhan akan meneguhkan kita.
Seperti “Hamba Yahwe” sejati yang selalu mengandalkan hidup-Nya pada Allah, hendaknya kita tanpa takut menyerahkan diri pada kerahiman dan pengajaran Yesus.
Kita mesti berani menyingkirkan para pemimpin agama yang memakai otoritas dan kuasanya, yang terkadang memaksakan “kekakuan” sikap agama mereka agar kita menganggap mereka “tuhan seolah-olah” sebagai manifestasi dari kesombongan iman yang dangkal.
Maka, iman mesti kita wujudkan melalui jalan rendah hati. *