Opini Pos Kupang
Perangkap Pertumbuhan dan Isu Kemiskinan
Ada yang menarik dari dua berita berikut ini. Pertama, BPS (2021) merilis data pertumbuhan ekonomi NTT, sebesar 0,12 persen
Oleh Habde Adrianus Dami, Mantan Sekda Kota Kupang, Pendiri Institut Kebijakan Publik dan Penganggaran (KUPANG Institute)
POS-KUPANG.COM - Ada yang menarik dari dua berita berikut ini. Pertama, BPS (2021) merilis data pertumbuhan ekonomi NTT, sebesar 0,12 persen, sehingga masuk 10 propinsi yang tumbuh positif ditengah pandemi.
Kedua, Gubernur NTT : belum tahu jelas orang miskin NTT, ini namanya peperangan melawan hantu (Kompas.com, 04/06/2021).
Bagaimana sifat keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Dalam pandangan saya, keterkaitan yang ada saat ini sepihak atau a-simetris. Logikanya, pembangunan ekonomi memang menghasilkan kemajuan sesuai indikator ekonomi (pertumbuhan ekonomi), tetapi secara etis, keberhasilan itu harusnya tidak menimbulkan korban (kemiskinan).
Karena itu, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan masih terus menjadi isu perdebatan dan refleksi pemikiran, baik dalam tataran teoritis maupun empirik. Hubungan antar keduanya mengandung paradoks dan penuh dengan komplikasi.
Baca juga: Kasus Dugaan Pelecehan Seksual oleh Anggota DPRD TTS Dinyatakan P21
Baca juga: Hasil Euro 2020 -Prancis vs Jerman: Juara Dunia Awali Euro 2020 dengan Sempurna, Der Panzer Tumbang
Tulisan ini mencoba menguraikan intisari dari pertumbuhan ekonomi serta relevansi dan implikasinya dalam pengentasan kemiskinan.
Dilema Pertumbuhan
Pemerintah sangat kuat dan dominan dalam perekonomian. Akibatnya, pengusaha dan masyarakat bergantung pada pemerintah. Konsekuensinya, pemerintah jadi "mesin pertumbuhan ekonomi"-sumber penggerak investasi dan pengalokasian sumberdaya pembangunan.
Itu berarti bahwa pemerintah mesti mampu mengkapitalisasi modal dan sumberdaya yang kita miliki. Meskipun begitu, tetap ada dilema antara orientasi kebijakan propasar dan prorakyat.
Persoalannya bukan sekedar pro atau kontra terhadap kebijakan pemerintah. Namun, pembangunan ekonomi yang dilakukan selain menciptakan pertumbuhan setinggi-tingginya, harus pula ikut menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran, sekaligus menciptakan tambahan pendapatan masyarakat bagi rumah tangga. Disinilah letak krusial masalahnya.
Kenyataannya, ada yang salah dengan kebijakan pembangunan kita, sehingga pertumbuhan gagal mengangkat kelompok masyarakat bawah sebagai sasaran pembangunan itu sendiri.
Baca juga: Ramalan Zodiak Hari Ini Rabu 16 Juni 2021: Aries Jangan Menyerah, Ada Perubahan Jadwal untuk Leo
Baca juga: Kode Redeem FF Hari Ini 16 Juni 2021, Buruan Tukar Kode Redeem Free Fire Terbaru
Desain kebijakan tak pernah menyerang langsung jantung persoalan terbesar ekonomi : kemiskinan struktural. Pembangunan mensyaratkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dan itu tak terjadi karena kepentingan politik populis. Strategi pro growth, pro poor, pro job lebih banyak slogan.
Di sisi lain, kita terlanjur percaya, persoalan pengangguran dan kemiskinan akan selesai dengan sendirinya dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sementara itu, persoalannya, pertumbuhan tak cukup menyerap penganggur dan angkatan kerja baru setiap tahun. Apalagi pertumbuhan terkonsentrasi di sektor nontradables dan padat modal, kian jauh dari sektor riil dan padat karya.
Risikonya, kita tak akan mampu meloloskan diri dari perangkap pertumbuhan ekonomi rendah untuk menggapai lompatan kesejahteraan juga kian menakutkan, dengan begitu banyak momentum yang kita sia-siakan.
Implikasi lain dari proses pertumbuhan ekonomi, adalah terjadinya urban bias,terserapnya sumberdaya ekonomi pedesaan ke wilayah perkotaan sehingga bukannya menghasilkan trickle-down effect, tetapi malah tereksploitasinya sumber daya (backwash effect) dari desa ke kota.