Breaking News

Opini Pos Kupang

Perangkap Pertumbuhan dan Isu Kemiskinan

Ada yang menarik dari dua berita berikut ini. Pertama, BPS (2021) merilis data pertumbuhan ekonomi NTT, sebesar 0,12 persen

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Perangkap Pertumbuhan dan Isu Kemiskinan
DOK POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Rupanya, dilema-dilema dalam kebijakan pemerintah tersebut bukanlah sekedar persoalan teknis semata. Diduga ada perpecahan paradigma dan kepentingan dalam ditubuh pemerintah tentang alokasi belanja dan sasaran pembangunan.

Revitalisasi

BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Secara teoritis, BPS menentukan Garis Kemiskinan (GK) terlebih dahulu, baru kemudian menghitung jumlah penduduk yang berada di bawah dan di atasnya. Dalam praktiknya, pengumpulan data dilakukan secara relatif bersamaan. Hanya urutan pengolahan disesuaikan kerangka teoritis.

Menurut statusnya, kemiskinan terdiri dari empat kelompok: Sangat Miskin (SM) jika pengeluaran per kapita per bulan kurang dari 0,8 GK. Miskin (M) jika lebih atau sama dengan 0,8 GK namun kurang dari 1 GK. Hampir Miskin (HM) jika lebih atau sama dengan 1 GK namun kurang dari 1,2 GK. Rentan Miskin Lainnya (RML) jika pengeluaran perkapita per bulan lebih dari 1,2 GK namun kurang dari atau sama dengan 1,6 GK.

Penduduk miskin adalah orang yang rata-rata pengeluarannya kurang dari GK. Garis itu dibuat BPS dengan menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar yang dinyatakan dalam nilai pengeluaran dalam rupiah. GK nasional pada Maret 2020 sebesar Rp454.652 per kapita per bulan.

Meskipun begitu, dinamika problematika kemiskinan perlu diantisipasi, seperti merevisi garis kemiskinan (GK) yang sudah "usang" harus segera "direvitalisasi". Paling tidak ada empat alasan sederhana sebagai berikut:

Pertama, GK hanya mencakup komponen pengeluaran makanan yang disesuaikan dengan inflasi umum atau indeks harga konsumen dalam periode tertentu ditambah komponen pengeluaran nirmakanan yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Jadi, bukan saja kedalaman kemiskinan yang tidak dapat diukur, melainkan juga potret dan faktor penyebab kemiskinan tidak tajam di petakan.

Kedua, GK, selama ini perhitungannya terbatas pada komponen makanan dan nirmakanan tertentu saja. Padahal, kebutuhan seseorang tidak hanya terbatas pada kebutuhan pangan dan nirmakanan tertentu semata.

Ketiga, GK saat ini tidak memperhitungkan kebutuhan seseorang terhadap pangan protein dan perbedaan harga komoditas pangan antar daerah. Akibatnya, jumlah penduduk miskin dapat menjadi gelembung didaerah dengan harga pangan tinggi dan rendah dengan harga pangan relatif murah.

Keempat, menghitung jumlah penduduk miskin dilakukan dalam periode satu tahun, akan membuat faktor penyebab kemiskinan menjadi kumpulan faktor. Akibatnya, pemerintah akan sulit menetapkan faktor signifikan penyebab kemiskinan di satu sisi dan program spesifik yang harus diterapkan dalam mengentaskan orang miskin di sisi lain,

Memang, gagasan yang diajukan tak lebih dari metafora. Meski begitu, dia bisa mengantar kita pada refleksi atas realitas. Karena, kita sudah terlalu lama dibelit oleh dilema-dilema. Begitu kita salah mengatasinya, tragedi akan menimpa kita.

Pilihan Ekletik

Sejatinya, tatakelola pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan itu, memang tidak selalu dilakukan secara dikotomik, namun bisa eklektik. Pilihan mendahulukan pertumbuhan ekonomi, tidak perlu mengabaikan tugas mengentaskan kemiskinan.

Demikian pula sebaliknya, kerja memberdayakan masyarakat tidak selalu konfrontatif dengan pertumbuhan ekonomi. Yang perlu diperhatikan, sekalipun pilihan dilakukan secara eklektik, namun orientasi kebijakan haruslah jelas di antara dua fakta itu.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved