Opini Pos Kupang

Urgensi Utang untuk Siapa?

Perubahan makro pembangunan NTT, yang direncanakan berlangsung secara evolutif, bertahap dan terencana

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Urgensi Utang untuk Siapa?
DOK POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Dalam situasi seperti itu, maka pandangan terhadap esensi pembangunan bersifat sepihak. Hal ini dikarenakan konsep pembangunan lantas sama sekali tidak menggunakan titik berangkat yang sama sebagaimana pandangan Hugo Kalembu anggota DRD NTT, bahwa kebijakan utang akan membebani rakyat, sebaliknya, Gubernur NTT, menegaskan, tidak ada daerah yang bangkrut karena pinjaman daerah, (SelatanIndonesia.com, 03/06/2021).

Kebenaran dan kekeliruan argumentasi utang di sini menjadi dua kata yang tidak bisa lagi kita lihat sekedar kontradiktif. Mengapa? Karena, kekeliruan pun ternyata bisa dimaknai secara positif dalam pengertian keseharian.

Oleh karena itu, cukup beralasan jika mempertanyakan urgensi, makna dan manfaat kebijakan utang dalam konteks kemampuan sumberdaya NTT. Mengingat, utang bukan sebagai satu variabel kunci penggerak utama pembiayaan pembangunan yang bersifat otonom. Pada titik ini, selalu terbuka ruang koreksi mendasar atas asumsi kebijakan utang.

Simplifikasi Utang

Berutang sebagai tambahan modal untuk ditanamkan dalam suatu aset investasi atau dalam bahasa keuangan sering disebut dengan margin lending atau investment leverage. Konsep ini pada dasarnya adalah menggunakan modal dari pihak lain untuk mengharapkan potensi keuntungan investasi yang lebih besar.

Dalam konteks berutang sebagai tambahan belanja dalam APBD, perlu dipahami bahwa utang selalu punya tiga dimensi. Pertama, besarannya dan sumbernya. Kedua, efektifitas penggunaannya.

Ketiga, utang secara langsung membebani anggaran pemerintah, sebab, bukan output perekonomian.

Mengingat, APBD, merupakan instrumen fiskal yang memiliki fungsi alokasi dan distribusi yang tepat, tidak saja mendorong pertumbuhan tetapi juga untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.

Sehingga, apabila terjadi gagal fiskal yakni suatu kondisi dimana postur penerimaan, belanja, dan pembiayaan daerah tak memenuhi disiplin dan kepatutan ekonomi yang digariskan aturan (APBD). Seperti, susutnya penerimaan, dikompensasi dengan pengurangan belanja dan tambahan belanja utang, untuk menambal kas daerah.

Di lain pihak, melemahnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan melemahnya penerimaan daerah, karena pajak dan retribusi sangat tergantung pada pendapatan masyarakat dan ekspektasinya ke depan. Lebih jauh, penggunaan angka pertumbuhan PDRB pada asumsi makro APBD sudah kurang relevan utuk mengukur potensi penerimaan.

Seyogianya pemerintah menggunakan angka pendapatan per kapita, yang walau pertumbuhannya lebih rendah, tetapi lebih realistis memotret daya beli masyarakat dan potensi pajak dan retribusi masyarakat.

Tentu, pihak pemerintah bersikap optimistis berkaitan dengan kebijakan utang, sebagaimana argumen, Zakarias Moruk, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi NTT, menegaskan bahwa

"Biaya pengembalian, pasti akan aman karena kondisi fiskal kita masih sangat kuat, karena dana untuk kita alokasikan bagi pembangunan jalan di tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi karena sudah diselesaikan di tahun 2022. Sehingga di tahun 2023 ke atas kita tidak lagi mengalokasikan di Dinas PUPR untuk membangun jalan". (SelatanIndonesia.com, 03/06/2021).

Namun, argumen ini belum tentu valid. Sebab, saat ini penerimaan sangat fluktuatif disamping itu bukanlah sekadar kalkulasi-kalkulasi teknis-ekonomis, akan tetapi melibatkan diskursus dan paradigma kultural yang ikut mempengaruhi likuiditas domestik.

Dari uraian ini dapat disimpulkan, potensi gagal fiskal (pembayaran pokok dan bunga utang) tidaklah mengada-ada, karena postur APBD yang tidak realistis dan jauh dari sikap kehati-hatian.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved