Wawancara Khusus dengan Fahri Hamzah: Blak-Blakan Soal Alih Status Pegawai KPK (Bagian-2)

Wawancara Khusus dengan Fahri Hamzah: Blak-Blakan Soal Alih Status Pegawai KPK (Bagian-2)

Editor: Kanis Jehola
TRIBUN/DANY PERMANA
Fahri Hamzah 

300 kepala daerah berurusan dengan KPK. Kebanyakan dihukum bersalah. Fenomena ini bukan sesuatu?

Fenomena kerusakan sistem. Kepala daerah itu gajinya Rp 6 juta. Waktu Pilkada bayarnya ada yang ratusan miliar. Kalau pakai ilmu KPK otak, itu kita nalar kenapa itu terjadi.

Kita potong akarnya. Jangan kemudian semuanya ditangkap karena ini kerusakan sistem. Jadi orang terima gaji Rp 6 juta per bulan. Tapi ongkos jadi pejabatnya minimal puluhan miliar atau dibayarin cukong.

Kalau dibiayain cukong nanti dia serving the cukong. Kan' otak kita mesti main. Kalau otot, ah kita tangkap. Karena dia pasti minta uang ke mana-mana. Tangkap. Wah bangga tepuk tangan. Kalau otak, ini mikir, ini lingkaran setan. Kita potong diakar.

Ngomong dengan Presiden, ini masalah. Belasan tahun kita tangkap orang, tidak benar ini. Biaya Pemilu rendah, paksa ada Undang-Undang yang mengatur pembiayaan Pemilu yang lebih rinci. Ini teori, di mana-mana dipakai di seluruh dunia.

Tapi di Indonesia tidak mau. Ini dipotong akarnya. Seolah-olah tambah banyak kasus, tambah sukses. Kan' ini yang dari dulu sakit memikirkannya.

Tapi tidak ada pendukung. Tapi saya pernahwaktu itu, mengumumkan waktu saya mau maju menjadi anggota DPR. Saya bilang, saya tidak punya uang, tapi saya sebagai anggota DPR mau mengumumkan sumbangan publik buat saya.

Saya disambut sama pimpinan KPK langsung. Pejabat yang minta sumbangan buat publik itu gratifikasi. Makanya kebanyakan anggota DPR kan' atau pejabat, begitu Pemilu jual tanah, jual rumah, nanti kalau sukses tetangganya bilang Alhamdulillah. Kalau gagal biasanya jadi gila. Kalau sukses tetangganya bilang, Alhamdulillah bisa balik modal.

Apa itu bisa kembali modal. Disuruh cari uang, karena dia waktu Pemilu ngeluarin duit banyak. Kan' ini namanya siklus setan. Tapi tidak mau diselesaikan. Jadi, cara kita melihat masalah itu bukan pada peristiwanya, kejadiannya, tapi pada akarnya.

Di sinilah sebetulnya perlu perdebatan ide, kita bisa. Masa Singapura bisa, masa indeks persepsi korupsinya Timor Leste sudah di atas kita. Kok kita mau menghinadiri kita seolah-olah kita bangsa yang tidak sanggup.

Saya bilang, kalau saya jadi presiden se-tahun korupsi saya hilangin. Bisa kok itu. Soal gampang. Tapi pakai akal bukan pakai otot. (tribun network/denisdestryawan)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved