Wawancara Khusus dengan Fahri Hamzah: Blak-Blakan Soal Alih Status Pegawai KPK (Bagian-2)

Wawancara Khusus dengan Fahri Hamzah: Blak-Blakan Soal Alih Status Pegawai KPK (Bagian-2)

Editor: Kanis Jehola
TRIBUN/DANY PERMANA
Fahri Hamzah 

Tidak boleh mudah terprovokasi, tidak boleh goncang oleh tekanan. Mungkin pertanyaan itu ada unsur tekanan, yang agak invasif kepada pribadi kita. Menekan dan sebagainya. Disuruh milih Pancasila atau Al Qur'an, misalnya.

Itu bukan berarti kalau Anda milih Pancasila benar atau Al Qur'an salah bukan begitu. Tapi Anda mau dicek sikap Anda kalau ada dilema seperti ini bagaimana.

Itukan' menandakan jiwa kita. Mungkin itu yang diuji. Tapi saya tidak ikut begituya, terserah saja, tapi tentu kalaua da yang berlebihan perlu dievaluasi dan tentu ada lembaga yang mengevaluasi.

Sebab saya kan' mendengar, sekarang ini akibat Undang-Undang ini, semua lembaga negara ikut terlibat. Kalau dulu KPK merekrut pegawainya sendiri, bikin keputusan tentang pegawainya sendiri, sistem pengkajian sendiri.

Ini menjadi temuan BPK waktu itu. Sekarang dia harus mengintegrasikan. Makanya yang merekrut Badan Kepegawaian Negara (BKN). Jadi saya kira itu sudah merupakan integrasi kerja sistem. Wajar saja.

Sejak kapan Anda merasa 'gerah' dengan praktek yang ada di KPK?

Banyak sebenarnya. Sebagian saya alami, saya melihat, bagaimana orang-orang itu menjadi menyimpang setelah masuk di dalam. Orang itu jadi berubah di dalam.
Makanya saya mengatakan KPK lama itu merusak orang. Jadi orang berteman, jadi orang itu tidak mau berteman, orang itu eksklusif. Ada pegawai KPK ke mana-mana tidak mau dikasih hidangan. Kita tidak bisa jadi manusia lagi.

Bahkan teman-teman itu kemudian begitu menjadi Komisioner, libido kekuasaannya naik. Ada yang ingin mencapai tangga politik tertentu, dan sebagainya. Dan itu membuat dia berubah. Menurut saya, saya punya keyakinan ada masalah dalam Undang-Undang yang dibuat dalam suasana perang, transisi, dan saya sering mengatakan, Presidennya Bu Mega, tidak setuju dengan Undang-Undang ini.

Menterinya yang membaca amanat presiden, waktu Undang-Undang disahkan Pak Yusril. Coba lihat catatan kritis Pak Yusril. Bahkan saya masih mengingat pidato itu mengingatkan bahwa KPK ini bisa menjelma dari power holder yang dahsyat.

Ketua timnya Prof Romli, pengkritik KPK. Anggota timnya Prof Adi Hamzah. Semua tidak setuju. Apalagi geng-geng DPR sebagian jadi korban. Memang sudah banyaklah.Cuma kita ini, mau menciptakan Holly Cow atau Sapi Suci supaya kita bisa sembah. Kesalahannya kan' kita tidak ungkap.

Padahal banyak kesalahannya, merekayasa kasus, mengintimidasi orang, menjebak, macam-macam. Kita pernah bikin angket di DPR, 1.000 halaman. Itu terungkap semua di situ. Orang mulai bernyanyi waktu itu. Tapi masih takut.

Kalau orang menyimpang sedikit dikembangkan. Kasus ini gagal, jadi kasus ini. Terus begitu. Hukum itu berintegrasi dengan ideologi investigasi jurnalisme.

Yang penting dapat berita. Itu yang berbahaya. Karena hukum tidak boleh begitu. Karena hukum filsafatnya lebih baik salah membebaskan daripada salah menghukum. Bahkan lebih baik salah membebaskan 1.000 daripada salah menghukum 1.

Jadi in dubio pro reo (jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa). Jadi beda prinsipnya.

Tapi kita masuk ideologi balas dendam dan sebagainya. Akhirnya terbalik ideologinya. Lebih baik salah menghukum daripada salah membebaskan.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved