Wawancara Khusus dengan Fahri Hamzah: Blak-Blakan Soal Alih Status Pegawai KPK (Bagian-2)
Wawancara Khusus dengan Fahri Hamzah: Blak-Blakan Soal Alih Status Pegawai KPK (Bagian-2)
Wawancara Khusus dengan Fahri Hamzah: Blak-Blakan Soal Alih Status Pegawai KPK (Bagian-2)
POS-KUPANG.COM - WAKIL Ketua DPR RI periode 2014-2019 Fahri Hamzah blak-blakan soal alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara ( ASN).
"Jadi saya kira mengintegrasikan pegawai KPK ke ASN itu adalah suatu keniscayaan, supaya mereka belajar mengintegrasikan lembaga lain dalam keadaannya seperti itu tetap independen," ujar Fahri, dalam perbincangan dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di kantor redaksi Tribun Network, Jakarta, Kamis (3/6/2021).
Menurut Fahri, alih status pegawai KPK bukan berarti akan menghilangkan begitu saja independensi lembaga tersebut. Sebab, ia berkaca pada institusi lain.
"Hakim juga demikian. Peradilan yang independen tapi faktanya juga pegawainya ASN. Polisi juga demikian. Penegak hukum juga, harus independen dong. Polrikan' harus independen tapi ASN," tutur Fahri.
Baca juga: Katalog Promo Alfamart Serba Gratis Senin 7 Juni 2021, Beli 1 Sleek Baby Cleanser Gratis 1
Baca juga: Traffic Light Tidak Berfungsi
Fahri berpandangan independensi tetap bisa dibangun dengan sistem yang ada pada lembaga tersebut. "Kan' ada prinsip-prinsip apakah aturan, etika dan sebagainya," katanya. Berikut petikan wawancara Tribun Network bersama Fahri Hamzah:
Alih status pegawai KPK menjadi ASN, ada hubungan antara ASN dengan indepensi lembaga?
Ya karena gini, definisi independensi yang harus digugat juga. Karena seolah-seolah itu menjadi syarat terbentuknya sistem anti-korupsi. Ya kalau begitu kita akan ngomong, DPR saja yang dipilih oleh rakyat dan harusnya independenya pegawainya juga ASN.
Hakim juga demikian. Peradilan yang independen tapi faktanya juga pegawainya ASN. Polisi juga demikian. Penegak hukum juga, harus independen dong. Polrikan' harus independen tapi ASN.
Kalau begitu bicaranya nanti semua tidak di ASN kan'. Kalau begitu polisi jangan ASN. Kejaksaan jangan ASN. Pengadilan jangan ASN.
Kalau berpikirnya begitu, independensi itu tidak diletakkan orang itu harus keluar dari negara.
Baca juga: Lingkungan Hidup, Laudato Si dan Kepekaan Merawat Bumi
Baca juga: Terbaru, 2.163 Warga Manggarai Terpapar Covid-19, 26 Orang Diantaranya Meninggal Dunia
Dia harus tetap berada dalam negara dan membangun independensinya dengan sistem yang mereka bangun. Kan' ada itu prinsip-prinsip apakah aturan, etika, dan sebagainya.
Jadi saya kira mengintegrasikan pegawai KPK ke ASN itu adalah suatu keniscayaan, supaya mereka belajar mengintegrasikan lembaga lain dalam keadaannya seperti itu tetap independen.
Ada syarat tes wawasan kebangsaan yang menjadi kontroversi karena ada sekitar 75 orang dinyatakan tidak lulus?
Saya tidak memahami teknisnya. Tapi tes-tes seperti itu kan' tes reaksi kejiwaan. Harusnya orang dites itu, kalau dia mau jadi penegak hukum, dia harus dingin.
Tidak boleh mudah terprovokasi, tidak boleh goncang oleh tekanan. Mungkin pertanyaan itu ada unsur tekanan, yang agak invasif kepada pribadi kita. Menekan dan sebagainya. Disuruh milih Pancasila atau Al Qur'an, misalnya.
Itu bukan berarti kalau Anda milih Pancasila benar atau Al Qur'an salah bukan begitu. Tapi Anda mau dicek sikap Anda kalau ada dilema seperti ini bagaimana.
Itukan' menandakan jiwa kita. Mungkin itu yang diuji. Tapi saya tidak ikut begituya, terserah saja, tapi tentu kalaua da yang berlebihan perlu dievaluasi dan tentu ada lembaga yang mengevaluasi.
Sebab saya kan' mendengar, sekarang ini akibat Undang-Undang ini, semua lembaga negara ikut terlibat. Kalau dulu KPK merekrut pegawainya sendiri, bikin keputusan tentang pegawainya sendiri, sistem pengkajian sendiri.
Ini menjadi temuan BPK waktu itu. Sekarang dia harus mengintegrasikan. Makanya yang merekrut Badan Kepegawaian Negara (BKN). Jadi saya kira itu sudah merupakan integrasi kerja sistem. Wajar saja.
Sejak kapan Anda merasa 'gerah' dengan praktek yang ada di KPK?
Banyak sebenarnya. Sebagian saya alami, saya melihat, bagaimana orang-orang itu menjadi menyimpang setelah masuk di dalam. Orang itu jadi berubah di dalam.
Makanya saya mengatakan KPK lama itu merusak orang. Jadi orang berteman, jadi orang itu tidak mau berteman, orang itu eksklusif. Ada pegawai KPK ke mana-mana tidak mau dikasih hidangan. Kita tidak bisa jadi manusia lagi.
Bahkan teman-teman itu kemudian begitu menjadi Komisioner, libido kekuasaannya naik. Ada yang ingin mencapai tangga politik tertentu, dan sebagainya. Dan itu membuat dia berubah. Menurut saya, saya punya keyakinan ada masalah dalam Undang-Undang yang dibuat dalam suasana perang, transisi, dan saya sering mengatakan, Presidennya Bu Mega, tidak setuju dengan Undang-Undang ini.
Menterinya yang membaca amanat presiden, waktu Undang-Undang disahkan Pak Yusril. Coba lihat catatan kritis Pak Yusril. Bahkan saya masih mengingat pidato itu mengingatkan bahwa KPK ini bisa menjelma dari power holder yang dahsyat.
Ketua timnya Prof Romli, pengkritik KPK. Anggota timnya Prof Adi Hamzah. Semua tidak setuju. Apalagi geng-geng DPR sebagian jadi korban. Memang sudah banyaklah.Cuma kita ini, mau menciptakan Holly Cow atau Sapi Suci supaya kita bisa sembah. Kesalahannya kan' kita tidak ungkap.
Padahal banyak kesalahannya, merekayasa kasus, mengintimidasi orang, menjebak, macam-macam. Kita pernah bikin angket di DPR, 1.000 halaman. Itu terungkap semua di situ. Orang mulai bernyanyi waktu itu. Tapi masih takut.
Kalau orang menyimpang sedikit dikembangkan. Kasus ini gagal, jadi kasus ini. Terus begitu. Hukum itu berintegrasi dengan ideologi investigasi jurnalisme.
Yang penting dapat berita. Itu yang berbahaya. Karena hukum tidak boleh begitu. Karena hukum filsafatnya lebih baik salah membebaskan daripada salah menghukum. Bahkan lebih baik salah membebaskan 1.000 daripada salah menghukum 1.
Jadi in dubio pro reo (jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa). Jadi beda prinsipnya.
Tapi kita masuk ideologi balas dendam dan sebagainya. Akhirnya terbalik ideologinya. Lebih baik salah menghukum daripada salah membebaskan.
300 kepala daerah berurusan dengan KPK. Kebanyakan dihukum bersalah. Fenomena ini bukan sesuatu?
Fenomena kerusakan sistem. Kepala daerah itu gajinya Rp 6 juta. Waktu Pilkada bayarnya ada yang ratusan miliar. Kalau pakai ilmu KPK otak, itu kita nalar kenapa itu terjadi.
Kita potong akarnya. Jangan kemudian semuanya ditangkap karena ini kerusakan sistem. Jadi orang terima gaji Rp 6 juta per bulan. Tapi ongkos jadi pejabatnya minimal puluhan miliar atau dibayarin cukong.
Kalau dibiayain cukong nanti dia serving the cukong. Kan' otak kita mesti main. Kalau otot, ah kita tangkap. Karena dia pasti minta uang ke mana-mana. Tangkap. Wah bangga tepuk tangan. Kalau otak, ini mikir, ini lingkaran setan. Kita potong diakar.
Ngomong dengan Presiden, ini masalah. Belasan tahun kita tangkap orang, tidak benar ini. Biaya Pemilu rendah, paksa ada Undang-Undang yang mengatur pembiayaan Pemilu yang lebih rinci. Ini teori, di mana-mana dipakai di seluruh dunia.
Tapi di Indonesia tidak mau. Ini dipotong akarnya. Seolah-olah tambah banyak kasus, tambah sukses. Kan' ini yang dari dulu sakit memikirkannya.
Tapi tidak ada pendukung. Tapi saya pernahwaktu itu, mengumumkan waktu saya mau maju menjadi anggota DPR. Saya bilang, saya tidak punya uang, tapi saya sebagai anggota DPR mau mengumumkan sumbangan publik buat saya.
Saya disambut sama pimpinan KPK langsung. Pejabat yang minta sumbangan buat publik itu gratifikasi. Makanya kebanyakan anggota DPR kan' atau pejabat, begitu Pemilu jual tanah, jual rumah, nanti kalau sukses tetangganya bilang Alhamdulillah. Kalau gagal biasanya jadi gila. Kalau sukses tetangganya bilang, Alhamdulillah bisa balik modal.
Apa itu bisa kembali modal. Disuruh cari uang, karena dia waktu Pemilu ngeluarin duit banyak. Kan' ini namanya siklus setan. Tapi tidak mau diselesaikan. Jadi, cara kita melihat masalah itu bukan pada peristiwanya, kejadiannya, tapi pada akarnya.
Di sinilah sebetulnya perlu perdebatan ide, kita bisa. Masa Singapura bisa, masa indeks persepsi korupsinya Timor Leste sudah di atas kita. Kok kita mau menghinadiri kita seolah-olah kita bangsa yang tidak sanggup.
Saya bilang, kalau saya jadi presiden se-tahun korupsi saya hilangin. Bisa kok itu. Soal gampang. Tapi pakai akal bukan pakai otot. (tribun network/denisdestryawan)