Breaking News

Opini Pos Kupang

Korupsi Mengorupsi Pancasila (Refleksi di Hari Lahir Pancasila)

Kelahiran Pancasila laik dirayakan terutama agar nilai-nilai Pancasila bisa membuat Indonesia tetap tegak berdiri

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Korupsi Mengorupsi Pancasila (Refleksi di Hari Lahir Pancasila)
DOK POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh : Lasarus Jehamat, Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang

POS-KUPANG.COM - Setiap tanggal 1 Juni, bangsa ini merayakan Hari Lahir Pancasila. Kelahiran Pancasila laik dirayakan terutama agar nilai-nilai Pancasila bisa membuat Indonesia tetap tegak berdiri.

Tulisan ini tidak membahas semua hal terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berkaitan dengan hari lahir Pancasila, kajian ini berfokus pada masih maraknya fenomena korupsi di Indonesia.

Harus diakui, korupsi di Indonesia saat ini bukan lagi hantu. Korupsi telah hadir secara nyata. Buktinya, penegak hukum terus mengendus dan menangkap pelaku korupsi. Bersamaan dengan penangkapan pelaku korupsi, triliunan uang negara disita.

Merilis data Indonesia Corruption Watch (ICW), kompas.com menyebutkan bahwa uang pengganti yang kembali ke negara atas kerugian kasus korupsi pada 2020 berjumlah Rp 8,9 triliun. Angka tersebut masih tergolong kecil dan sedikit. Sebab, menurut data ICW, total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp 56,7 triliun.

Baca juga: Perkara Lahan Eks PU Waihali Larantuka, Pemda Flores Timur Dinyatakan Menang Tingkat PK

Baca juga: Kapolda NTT Perintahkan Proses dan Hukum Berat Predator Pembunuh Wanita di Kupang

Berdasarkan data dari ICW, diketahui sepanjang tahun 2020 terjadi 1.218 perkara korupsi yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Total terdakwa kasus korupsi di tahun 2020, mencapai 1.298 orang.

Dari data tersebut tercatat praktek korupsi dilakukan paling besar oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan 321 kasus, pihak swasta dengan 286 kasus, dan perangkat desa dengan 330 kasus (nasional.kompas.com, 22 Maret 2021)

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan kasus yang telah memiliki kekuatan hukum tetap terkait korupsi sebagai berikut: Pengadilan Negeri 113 (2019), 52 (2020), 7 (2021). Pengadilan Tinggi, 11 (2019), 4 (2020), 0 (2021), dan MA, 18 (2019), 14 (2020), dan 9 (2021).

Sampai hari ini, kasus korupsi di seluruh Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam tiga tahun terakhir sejumlah 811 kasus dengan perincian 521 kasus (level Pengadilan Negeri), 77 kasus (Pengadilan Tinggi), dan 213 kasus (di MA) (KPK, 8 Mei 2021).

Baca juga: Masyarakat Bonleu Minta PDAM Soe Segera Cabut Pipa yang Melintas di atas Lahan Warga

Baca juga: Ungkapan Duka Pebalap MotoGP Pasca Jason Dupasquier Meninggal Dunia Kecelakaan di Sirkuit Mugello

Terakhir, KPK melakukan OTT terhadap pejabat di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur. Tim gabungan KPK dan Polri menangkap bupati beserta 4 orang camat di wilayah Kabupaten Nganjuk. Barang bukti sejumlah uang turut disita di sana.

Menurut aparat keamanan, uang tersebut diduga dikumpulkan dari para perangkat desa atas arahan Bupati. Selain itu, para camat juga diduga telah menyerahkan sejumlah uang kepada Bupati (KPK, 10 Mei 2021).

Yang diurus aparat penegak hukum adalah kasus yang kelihatan. Di beberapa tempat, masih begitu banyak kasus korupsi yang terus merajalela. Korupsi seakan menjadi hobi bagi beberapa oknum entah itu aparat negara atau yang lainnya. Di samping itu, dalam beberapa kasus, korupsi melibatkan tidak hanya seorang individu tetapi melibatkan keluarga.

Fenomena korupsi yang terus menggempur Indonesia perlu direnungkan berkaitan dengan hari kelahiran Pancasila. Hemat saya, fenomena korupsi di Indonesia tengah mengorupsi Pancasila. Dengan demikian, tesis kaum modernis yang menyebutkan bahwa korupsi bisa mendorong pembangunan laik digugat dan harus diperiksa.

Menelikung Pancasila

Fakta maraknya korupsi memiliki beberapa makna berikut. Pertama, korupsi memang sulit lenyap dari bumi Indonesia. Kedua, penanganan korupsi sulit mendapatkan hasil jika kita salah menilai kerja lembaga negara.

Ketiga, berkaitan dengan yang kedua, karena korupsi sudah mengurat akar, diperlukan langkah lain yang lebih komprehensif dalam penanganan korupsi. Keempat, fenomena korupsi tergolong tindakan yang melanggar nilai-nilai Pancasila. Karena itu, korupsi apa pun bentuknya, harus dimasukan ke dalam exra ordinary crime.

Keempat fenomena itu berdampak pada empat hal ikutannya. Pertama, fenomena pertama berdampak pada kefrustrasian banyak pihak terkait pemberantasan korupsi. Kedua, sebagai sebuah lembaga, politik sejatinya tidak memberikan ruang bagi dinasti politik yang terlampau dekat.

Ketiga, hal itu harus diikuti dengan perubahan sistem politik kita dengan model politik yang tegas menuntut korupsi politik entah berbasis dinasti atau korupsi politik lainnya.

Keempat, oleh koruptor, nilai-nilai Pancasila menang dihafal dan gagal dipraktik. Membaca korupsi di Indonesia, sulit untuk tidak disebut melanggar nilai Pancasila. Perilaku korup merupakan tindakan yang melanggar sila-sila Pancasila mulai dari sila ketuhanan sampai sila keadilan sosial.

Setiap koruptor di Indonesia jelas merupakan umat beragama, apa pun agamanya. Korupsi merupakan tindakan melanggar nilai yang terkandung dalam sila pertama.

Korupsi terang menafikan moral ketuhanan dan moral agama sekaligus. Di titik yang lain, korupsi secara nyata mengabaikan aspek kemanusiaan. Korupsi adalah tindakan antikemanusiaan. Sebab, praktik korupsi melanggar prinsip kemanusiaan universal.

Berkaitan dengan sila persatuan, korupsi bisa merusak persatuan. Hal itu terjadi karena koruptor mengambil uang atau barang milik umum. Praktik korupsi merupakan wujud nyata dari kerja merusak persatuan itu.

Dari aspek demokrasi, praktik korupsi menjadi gambaran paling plastis dari fenomena perusakan nilai-nilai demokrasi. Selain korupsi didasarkan pada kepentingan diri, dalam praktiknya, korupsi bisa saja digunakan untuk tujuan politis yang merusak nilai demokrasi. Di situ, korupsi (politik) merupakan fakta banal akan pengingkaran nilai Pancasila terutama sila keempat.

Selain itu, korupsi terang melanggar nilai keadilan sosial. Setiap tindakan korupsi, jelas bertujuan untuk kepentingan diri atau kelompok. Dengan demikian, semangat untuk menciptakan keadilan terlampau sulit di negara yang diliputi fenomena korupsi.

Langkah Transformatif

Langkah transformatif rupanya diperlukan untuk meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi di Indonesia. Dua langkah yang bisa dilakukan ialah pembuktian terbalik dan moratorium calon kepala daerah berbasis dinasti.

Di cara pertama, semua calon pemimpin harus rela tidak saja diperiksa harta kekayaannya tetapi juga rela disebut `calon koruptor'. Dengan begitu, jika suatu ketika elite tersebut benar-benar melakukan korupsi, dengan bukti yang valid, mudah kiranya mengambil langkah hukum karena dia sudah disebut calon koruptor di awal pemerintahannya.

Sebaliknya, negara pun harus siap memulihkan nama baik jika memang terbukti pemimpin tersebut tidak pernah melakukan tindakan korupsi selama masa pemerintahannya.

Di cara kedua, dituntut kemauan politik dari para pengambil kebijakan di negara ini. Moratorium pencalonan pemimpin dalam rentang waktu 10-20 tahun diperlukan guna memberi ruang yang cukup baik bagi calon yang masuk dalam lingkaran dinasti maupun calon lain di luar itu untuk bertindak taktis termasuk belajar menjauhi tindakan korupsi. Selamat Hari Lahir Pancasila. (*)

Kumpulan Opini Pos Kupang

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved