Dalam Hal Pemberian Bantuan Kita Harus Hati-Hati

Dalam pemberian bantuan bagi penyintas bencana di Nusa Tenggara Timur ( NTT) harus diperhatikan dengan baik

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
Project Manager CSO-LA, Rika Setiawati Kegiatan Lokakarya Dampak dan Teman Evaluasi Proyek, SELASA 25 Mei 2021 

POS-KUPANG.COM | KUPANG - Dalam pemberian bantuan bagi penyintas bencana di Nusa Tenggara Timur ( NTT) harus diperhatikan dengan baik sehingga jangan sampai menimbulkan masalah baru.

Hal ini dibahas dua narasumber yang berkecimpung dalam dunia sosial kemanusiaan, Rika Setiawati dan Antonius K. Jawamara, bersama host jurnalis Pos Kupang, Evelyne Rote, dalam Acara Ngobrol Asyik Bersama Pos Kupang dengan Tema: "Standarisasi Distribusi Bantuan untuk Penyintas Bencana".

Pada kesempatan tersebut Rika menjelaskan, digunakan kata penyintas bukan korban karena dalam bahasa Inggris, korban berarti victim, yang penempatannya biasanya pada korban kecelakaan yang tertabrak dan tidak berdaya.

"Nah ternyata dari bahasa inggrisnya itu survivors. Memang ini istilah yang agak kurang familiar karena kosakata baru, setelah ada banyak bencana di Indonesia mulai dari Tsunami Aceh. Dari situ banyak yang bertahan dari bencana jadi kayaknya lebih bagus penyintas deh," jelas Rika.

Baca juga: Obati Dahaga dengan Iced Coffe Lemon

Baca juga: Terancam Hukuman Mati, Begini Ungkapan Penyesalan Tinus Perko Usai Habisi YAW

Sebelum pendistribusian bantuan dilakukan saat bencana, kata Rika, harus diketahui terlebih dulu jenis kebutuhan yang muncul dari para penyintas pada saat bencana terjadi apapun bencananya.

"Seperti kemarin ada siklon tropis, banjir bandang juga terjadi di sini, gempa tsunami, liquifasi yang terjadi di Palu, jenis - jenis bantuan ini sudah rata - rata dikaji itu terdiri dari kalau kita mengikuti standarnya Sphere. Sphere standar itu sesuatu standar minimal respon bencana yang dikembangkan oleh ratusan NGO di seluruh dunia untuk biar penyaluran bantuan lebih terstruktur dan tersistematis dan tidak menimbulkan masalah baru," katanya.

Rika melanjutkan, beberapa kasus yang ditemukan di NTT adalah contohnya ada yang menggelar konser amal dan menggalang bantuan, kemudian sibuk dengan penggalangan bantuannya sehingga kebingungan saat hendak menyalurkan bantuan.

"Terus tiba - tiba langsung saja kan, kita maunya langsung. Ada masalah ketidakpercayaan, ada keterbatasan informasi dan pengetahuan jadi inginnya langsung kasih," kata Rika.

Baca juga: Penjelasan Pihak RSUD Larantuka Terkait Jenazah yang Dimuat Pakai Mobil Pikap

Baca juga: Luar Biasa Pemkab Manggarai Tiga Kali Berturut-Turut Raih Opini WTP Terkait LKPD

"Yang terjadj dulu ada bantuan pakaian layak pakai, 1 truk 2 truk 3 truk nih datang. Artinya kalau kita membawa barang dari luar ke situ kalau dipakai ya bermanfaat kalau tidak kan jadi sampah. Itu seringkali menumpuk tidak jelas karena memberi bantuannya kadang mungkin perorangan dikumpulkan tapi yang mengumpulkan nggak paham gimana menyampaikan inj dengan prinsip perlindungan kemanusiaan terhadap para penyintas. Tidak dipacking tidak dipilah untuk ibu - ibu untuk anak - anak tidak dicuci," bebernya.

"Misalnya kemarin banjir bandang. Air kotor di mana - mana terus dikasih baju yang harus dicuci ulang zama mereka karwna namanya layak pakai. Nah akhirnya menciptakan masalah baru. Tidak ada pemberian bantuan tambahan misalnya sabun atau ember, air dari mana harus dipastikan," lanjutnya.

Bantuan pakaian tersebut akhirnya hanya jadi lap karena tidak tepat sasaran.

" Kemudian pemberian mie instan. Kita tidak tahu pasokan air bersihnya tersedia atau tidak. Kemudian coba kita aja makan mie tiap hari bisa nggak begitu? Ini kan menimbulkan masalah baru. Kenapa tidak kirim kentang kol sayuran? Padahal situasi bencana itu kebutuhannya tiap hari kan sama saja dengan situasi normal. Nah kadang orang lupa jadi maunya simple, singkat kayaknya butuh ini deh tanpa memikirkan proses," ujar Rika.

"Orang Indonesia termasuk saya kadang mengantisipasi dengan baik setelah kena dulu. Dan saya lihat juga proses belajar itu ada. Di Flores Timur misalnga, mereka menyadari dibutuhkan koordinasi satu pintu dan umumkan ke berbagai pihak. Boleh kemudian ada bantuan yang masuk secara sporadis," tambahnya.

Antonius K. Jawamara dalam kesempatan tersebut juga menyampaikan, istilah "Korban" yang dipakai cenderung lebih kepada pelabelan negatif kepada orang yang terkena bencana.

"Artinya bahwa dia tidak berdaya apa - apa tetapi penyintas kita lebih melihat dia berdaya. Jadi ada pelabelan positif terhadap dirinya yang sebenarnya kita lihat rata - rata para penyintas bencana di NTT atau di Indonesia secara umum itu sebelum bantuan datang mereka survive, mereka justru bertahan dengan apa yang ada dalam diri mereka. Paradigma itu yang kita perlu rubah bahwa bukan korban tetapi penyintas," ujar pria yang kerap disapa Anjar ini.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved