Opini Pos Kupang
"Kele" dan Budaya yang Lestari
Manusia pada dasarnya adalah mahkluk yang berbudaya. Budaya dan kebudayaan melekat erat dalam pribadi manusia
Pihak eda adalah lingkup keluarga pertama yang menerima kabar kematian yang bersangkutan (almarhum) dan harus datang lebih awal untuk menggali kubur pertama kali (deta gomo).
Setelah itu, keluarga ahli waris yang bersangkutan akan memberikan liwu eko (liwu berarti emas, eko berarti ternak) kepada pihak eda sesuai kesanggupan dan kemampuan keluarga.
Namun, dewasa ini proses perealisasiannya bisa berupa uang sesuai harga yang berlaku. Sesuai tradisi, pembicaraan mengenai taka alu harus mencapai titik kesepakatan sebelum upacara pemakaman jenasah.
Penentuan besaran taka alu"oleh pihak eda disesuaikan dengan apa yang mereka bawa saat proses melayat atau besarnya usaha yang diperbuat kepada yang bersangkutan selama masih hidup.
Oleh karena itu, apabila proses pembayaran taka alu belum terpenuhi, maka proses ritual kele belum boleh dilaksanakan.
Dewasa ini proses ritual adat kele masih dilakukan di beberapa keluarga masyarakat Lio, terkhususnya di kawasan Lise. Kele biasanya dilakukan pada hari keempat setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam proses pelaksanaannya, dibutuhkan seekor ternak babi yang telah dikebiri dan seekor ayam jantan yang telah cukup umur.
Ternak babi tersebut disembelih melalui ritual adat dimana bagian ujung kepala dan rahangnya (moki weri) diberikan kepada pihak eda yang hadir pada proses ritual kele.
Moki weri tersebut merupakan simbol bagi bagi pihak puu hamu untuk mengantarkan yang bersangkutan (almarhum) ke dalam alam para leluhur. Setelah itu, dilakukan pembacaan doa dalam bahasa adat oleh orang yang memiliki "kemampuan lebih" (dapat berkomunikasi secara transendental) dan kemudian mengolesi sedikit minyak yang dicampur dari kelapa asli dengan rendaman biji-bijian pada kening semua anggota keluarga secara berjenjang sesuai usia dan status.
Hal tersebut menjadi simbol putusnya hubungan duniawi antara keluarga dan yang bersangkutan (almarhum), sekaligus mengantarkannya ke dalam alam dan persekutuan para leluhur. Pada akhir acara, dilepaskanlah ayam jantan sebagai tanda dilepaskannya arwah yang bersangkutan menuju kebahagiaan abadi.
Kele dapat dilihat sebagai sebuah bentuk komunikasi transendental. Transendental dalam terminologi filsafat berarti suatu yang tidak dapat diketahui atau suatu pengalaman yang terbebas dari fenomena, tetapi berada dalam gugusan pengetahuan seseorang.
Dalam istilah agama, transendental dapat diartikan sebagai suatu pengalaman mistik atau spiritual karena berada diluar jangkauan dunia. Maka dari itu, komunikasi transendental bisa dipahami sebagai sebuah proses membagi ide, informasi, dan pesan dengan orang lain pada tempat dan waktu tertentu, serta berhubungan erat dengan hal-hal yang bersifat transenden (metafisik dan pengalaman supranatural).
Kele juga menjadi bukti nyata keterlibatan dan keterkaitan komunikasi dalam sebuah proses budaya hingga melahirkan produk kebudayaan berupa kepercayaan.
Keterkaitan antara proses komunikasi dan budaya tersebut pada akhirnya bermuara pada pemikiran Edward T. Hall yang menyatakan bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi.
Artinya dalam melakukan proses komunikasi sebagai sebuah aktivitas simbolis dan pertukaran makna, manusia selalu merepresentasikan atau menampilkan sebuah bentuk kebudayaan yang dihasilkan dari perpaduan potensi-potensi budaya yang dimilikinya dalam sebuah lingkungan yang bersifat multi-budaya (heterogen).
Di lain pihak, dalam proses komunikasi tersebut, setiap simbol dan makna yang dipertukarkan memiliki batasan-batasan etis yang disesuaikan dengan lingkungan multi-budaya dimana aktivitas simbolis dan pertukaran makna tersebut sedang terjadi.