Cara Taan Tou Ajak Pengungsi Refleksikan Hubungan Alam dan Manusia Pasca Bencana
Komunitas anak muda Taan Tou Kabupaten Lembata menginisiasi penyelenggaraan teater di Pantai Wulenluo Lewoleba
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | LEWOLEBA-Komunitas anak muda Taan Tou Kabupaten Lembata menginisiasi penyelenggaraan teater di Pantai Wulenluo Lewoleba pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional ( Hardiknas), 2 Mei 2021 yang lalu.
Menariknya, para aktor dalam teater sebagian adalah pengungsi bencana alam Ile Ape yang saat ini masih berada di Posko SMPN 1 Nubatukan.
Selain merupakan bagian dari trauma healing, dengan ini, Taan Tou ingin memperlihatkan relasi alam dan manusia pasca bencana yang terjadi pada 4 April 2021 tersebut.
Pementasan teater berlangsung di pelataran lokasi Pantai Wulenluo yang menampilkan musik tradisional, tutur adat (Koda Kirin), tarian khas Ile Ape dan ritual adat.
Baca juga: Update Kode Redeem ML Besok 8 Mei 2021, Segera Klaim Kode Redeem Mobile Legends dari Moonton
Baca juga: 2.500 Dosis Vaksin Sudah Tersedia di Belu
"Inilah seni yang berbicara," kata Yoman Making usai pementasan.
Anggota Komunitas Taan Tou yang juga seniman teater ini barangkali benar. Hari itu, melalui seni yang berbicara, relasi alam dan manusia ditampilkan secara gamblang.
Simbol-simbol dalam teater jelas menggambarkan kesatuan alam dan manusia, hal yang sebenarnya sangat vital dalam hidup.
Menurut Yoman, teater tersebut melibatkan puluhan orang pengungsi Ile Ape yang sementara ada di posko. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari trauma healing yang diampuh Yoman dan Rivai dari Komunitas Taan Tou kelas kebudayaan, lingkungan dan sastra.
Yoman berujar konsep teater murni berasal dari ide para pengungsi sendiri. Jadi, simbol-simbol yang diperagakan sangat dekat dengan para aktor sendiri. Beberapa di antara simbol itu yakni koda kirin, manusia, dan sosok perempuan Ina Peni Utan Lolon yang merepresentasikan Ile Lewotolok.
Baca juga: KPU Kota Kupang Serahkan Usulan Rencana Kebutuhan Biaya Pilkada Tahun 2024 Kepada Pemkot
Baca juga: Kasus Tipikor Awalolong, Kapolda NTT Perintahkan Proses Penyidikan Harus Profesional
Alumnus SMA Seminari San Dominggo ini menjelaskan teater tersebut memang berdasar pada kesadaran alam dan manusia itu ada di dalam diri para aktor.
Kesadaran itu, kata Yoman, berupa anggapan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan 'Ile Lewotolok marah' adalah orang naik ke gunung tapi tidak tahu etika. Hasilnya merupakan petaka bagi manusia itu sendiri.
Dalam pertunjukan tersebut, kematian manusia merupakan akibat dari kemarahan alam. Tapi kematian bukan akhir dari cerita. Ada sesosok perempuan, dengan suluh di tangan, menjamah manusia-manusia yang sudah terkapar dan 'menghidupkan' mereka kembali.
Bagi Yoman, sudah saatnya sekarang manusia kembali ke alam (back to nature), kearifan lokal kembali digali dan dihayati. Dosa pendidikan modern di Indonesia, menurutnya, adalah kearifan lokal itu kurang diangkat dalam pendidikan.
Padahal, di dalam kearifan lokal sudah termuat semua unsur kesatuan alam dan manusia.
Aldino Purwanto, sineas muda Lembata, juga mengakui pendidikan di sekolah formal memang 'sudah dari sononya' tidak banyak mengangkat kearifan lokal. Ini berdampak pada kesadaran generasi muda terhadap alam semesta.
"Guru-guru saja tidak tahu. Kalau pelajaran Muatan Lokal (Mulok) itu bisa dilakukan di luar sekolah kenapa kita tidak dibikin rutin oleh komunitas-komunitas saja. Sudah saatnya kita berkarya berkreativitas karena kita tahu ada hal yang kurang. Jangan lagi mengeluh lagi soal sistem yang ada. Jadi biarkan kita berkarya lagi," pesan Aldino.
Penggiat budaya Lembata, Abdul Gafur Sarabiti, menerangkan masyarakat Ile Ape sangat dekat dengan ritual-ritual adat. Unsur-unsur kebudayaan menjadi bagian dari keseharian mereka.
"Ketika pentaskan itu semua, tidak susah lagi. Anak-anak saja tahu Koda Kirin, karena itu mereka lihat setiap hari. Rutinitas itu dibawa ke pentas dan jadilah ada hubungan antara kebudayaan, hardiknas dan bencana," papar Gafur.
"Ritual-ritual ini bagian dari kebudayaan mereka, kalau orang kota mungkin lihat itu sebagai pertunjukan. Ini murni pentas tapi anak-anak ini menurut saya, itu sudah bagian dari rutinitas mereka saja. Kalau anak anak di kota itu jauh dari ritual ritual ini," pungkasnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo)