Sifon Dalam Budaya TTS: Ritual Menyembuhkan Luka Sunatan
Sunat tradisional di Kabupaten TTS merupakan salah satu tradisi yang diwariskan secara turun temurun
POS-KUPANG.COM - Sunat tradisional di Kabupaten Timor Tengah Selatan ( Kabupaten TTS) merupakan salah satu tradisi yang diwariskan secara turun temurun hingga saat ini. Sunat dilakukan oleh seorang dukun.
Untuk melakukan sunat, seorang dukun harus mendapat wangsit atau amanah dari pendahulunya. Jika tidak, warga biasa tidak akan berani melakukannya.
Salah satu dukun sunat tradisional di Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten TTS, Yermias Banfatin mengatakan, untuk memulai proses sunat ini terlebih dahulu diawali dengan doa.
"Sebelum sunat berdoa dulu baru mulai. Taruh tanah di kepala dan berdoa kepada Tuhan supaya tidak ada hambatan," ujar Yermias dalam bahasa TTS yang kemudian diterjemahkan Samuel D Sunbau, staf Puskesmas Kapan. Yermias ditemui di Desa Fatukoto, Senin (25/4/2021) lalu.
Baca juga: Luna Maya: Rumah Mewah
Baca juga: Mikha Tambayong ke Korea Dikenalin dengan Idol K-Pop, Bakal Main Film Bareng Taeyang BIGBANG
Pasien yang akan melakukan sunat, kata Yermias, biasanya datang bersama teman sehingga sebelum memulai, semua yang hadir berdoa terlebih dahulu.
Setelah berdoa, pasien diarahkan ke kali kecil di bagian belakang rumah sang dukun. Kali tersebut tersembunyi, dan tidak ada orang yang melewatinya sehingga cukup aman. Di lokasi itu, proses sunat dilakukan.
Untuk mencapai rumah sang dukun, harus melewati sebuah kali kecil di bagian depan. Sementara kali untuk melakukan proses sunat berada di bagian belakang dan letaknya tidak begitu jauh.
Sebelum dimulai, sang pasien diminta untuk berendam di air pada kali kecil yang membentuk kolam. Setelah dirasa cukup dan kulit sudah mengerut, pasien diarahkan ke luar kolam dan duduk di atas batu yang ada di kali dan proses sunatpun dimulai.
Baca juga: Mutiara Ramadan: 6 Adab untuk Sempurnakan Puasamu Menurut Imam Al Ghazali
Baca juga: Warga Tambal Jalan Pakai Semen
Alat yang dipakai adalah dua buah ranting bambu untuk menjepit ujung kulit lalu ditarik kemudian dipotong menggunakan silet. Kulit yang diambil kemudian ditancapkan bersama bambu yang digunakan pada pohon ara di pinggir kali tersebut.
"Kulit dengan bambu itu kita taruh di sini karena kita menghargai bagian tubuh dari mereka yang sunat," jelasnya.
Setelah itu luka bekas sayatan disembur dengan sirih yang sudah dikunyah terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan infeksi. Selanjutnya luka dibalur dengan ramuan tradisional dari daun tanaman yang disebut daun gigi kambing atau bisa juga dengan daun kirinyuh (Chromolena odorata) yang juga dikunyah.
Balutan ramuan tradisional itu diperban dengan menggunakan kain atau baju yang disobek.
Yermias mengungkapkan, perban yang digunakan bukan dari kain kasa. Menurutnya, kain kasa akan lengket ketika ramuan sudah kering sehingga ketika dilepaskan akan terasa sakit.
Setelah itu, pasien diseberangkan dengan bantuan teman -teman yang hadir ke perapian yang sudah disiapkan sebelumnya. "Api ini kita siap karena setelah dia keluar darah banyak pasti kedinginan," jelasnya.
Setelah proses selesai, pasien pulang ke rumahnya dan diberi pesan agar ketika dalam keadaan masih luka dan mengalami reaksi, pasien diminta untuk menggosok dengan pisau atau diberi tetesan air agar reaksinya berhenti.
Jika luka sudah sembuh, akan dilakukan Sifon, yakni mencari perempuan untuk "membuang panas" dari proses tersebut.
Yermias mengatakan, sebelumnya, proses buang panas ini dilakukan sebelum luka benar-benar sembuh namun sekarang proses tersebut akan dilakukan ketika luka sudah sembuh.
Perempuan yang dijadikan Sifon ini adalah mereka yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan pasien, bahkan lebih sering diambil dari luar desa tersebut.
Proses Sifon juga dilakukan minimal dua kali dengan perempuan yang berbeda dengan ketentuan sudah pernah melahirkan.
Sifon yang pertama kali biasanya ditargetkan perempuan yang sudah punya anak di atas dua orang dan yang kedua kali sudah memiliki satu anak.
Para wanita yang sudah biasa melakukan Sifon bahkan sudah bisa langsung mengetahui jika ada tamu yang datang dengan tujuan tersebut.
Setelah luka pasien sembuh, dengan sendirinya para pasien akan mencari perempuan dan dirayu dengan segala cara hingga bisa melakukan Sifon karena ada semacam desakan dalam diri untuk melakukan Sifon. Sejauh ini, tidak ada pasien yang tidak melakukan Sifon setelah sunat.
"Semua dapat (Sifon) karena mereka pasti akan cari (perempuan) dan rayu bagaimanapun caranya supaya dapat," jelasnya.
Warga yang pernah sunat tradisional, Marten Banfatin mengatakan, dia melakukan proses sunat ini sebelum menikah. Kini Marten sudah menikah dan empat anaknya sudah beranjak dewasa.
"Saya waktu dulu disunat oleh bapak ini juga (Yermias) dan prosesnya itu sifon saya dua kali," ungkap Marten.
Setelah itu, Marten meminta orangtuanya meminang kekasihnya yang menjadi istrinya saat ini. "Sekarang kalau pas datang ke sini, ada yang lagi sunat kita bantu," tuturnya.
Staf Dinas Kesehatan Kabupaten TTS, Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM), Stef R Tupen menjelaskan, dari aspek kesehatan, praktek Sifon adalah sesuatu yang sangat beresiko untuk penularan penyakit menular seksual dan juga menjadi jembatan untuk penularan HIV.
Praktek Sifon, kata Stef, dulunya, dilakukan pada saat luka bekas insisi masih berupa luka terbuka yang oleh pengetahuan awam masyarakat setempat, punya keyakinan bahwa luka tersebut akan cepat sembuh kalau dilakukan Sifon.
"Karena hasil jepitan dan juga alat yang dipakai itu tidak steril maka kecenderungan akan terjadi infeksi," jelasnya.
Setelah disunat, lanjut Stef, akan muncul infeksi yang dalam bahasa daerah disebut Kaulili. Kaulili dalam bahasa dawan berarti tomat. "Kaulili itu sebenarnya gambaran dari infeksi luka itu sendiri. Makanya diibaratkan seperti itu," ujarnya.
Sementara dari aspek penularan penyakit terutama HIV, sangat beresiko karena jika tanpa luka, resiko penularannya kecil tapi kalau ada luka akan sangat beresiko.
"Sebenarnya sunat ini dari aspek kebersihan memang bagus sekali. Tetapi yang kita harapkan adalah kalau bisa datang sunat secara medis. Yang kedua kalaupun misalnya melakukan sunat tradisional jangan ada embel-embel seperti harus Sifon, termasuk pengobatannya juga harus secara medis sehingga bisa meminimalisir resiko penularan," tandasnya. (michaella uzurasi)