KATA SEINDAH BUNGA, Narasi Servulus Isaak SVD
Bahagia di surga, Pater Servulus. Saya dan kami adik-adikmu di sini sedang terjerembab dalam peradaban
Mungkin karena dia tahu saya mepet dengan deadline, maka dia sampaikan tips: “kau lihat saja di index kata hati nurani, lalu ke halaman yang ditunjuk”. Dan sebelum pamit, untuk membesarkan jiwa saya, mungkin dia tahu saya sudah down sejadi-jadinya, dia katakan: “kau bisa, maka-nya tadi saya kasih ini buku utama, minggu depan harus bawa pulang!”
Jujur, langkah demi langkah pulang ke kamar terasa berat kira-kira seperti sedang memikul berton-ton karung beras. Dada yang tadinya agak busung, pulang dalam keadaan kempes tiada juntrungan.
Nah, perasaan itu sirna begitu saya mulai mengerjakan revisi dan membaca buku utama yang dia berikan. Di halaman penting terlihat di sana-sini digarisi dengan stabilo kuning, persis di bagian tentang hati nurani. Hahahahahaha, saya ngakak sendiri. Untuk apa lagi saya baca seluruh buku. Cukup baca alinea-alinea yang ada stabilo kuning. Ternyata memang itulah bahan yang dia ambil waktu menyusun papernya yang tadi dia tunjukkan di kamarnya.
Alhasil, dua hari selesai. Saya ke kamarnya membawa skripsi dengan ketikan rapi dua spasi. “Hah, yang benar sedikit e, jangan asal jadi, nanti tunggu saya panggil baru datang,” kata dia sambil menerima revisian.
Saya balik menuju kamar di wisma Fransiskus dengan gumam kecil: “Aeh biar sudah, kalo kali ini revisi lagi, saya tidak mau nodek, mau lulus, lulus, mau tidak lulus, ya sudah.
Martin Warus, nyeletuk: “kau ini yang kerja mepet waktu, ya, salah sendiri. Pater Servulus kasih perbaikan, kau ngeluh lagi.”
Sambung Boni Selu: “ Siapa suruh kau kerja telat, lihat saya ka sudah kerja dari tiga bulan lalu.
‘Terus hasilnya bagaimana,” tanya saya.
“Aeh belum dipanggil-panggil e sama Pater Osiaz, hahahahahaha”
Hahahahaahahaha, kami bertiga ngakak sejadi-jadinya.
Besok sore saya dipanggil. Dag dig dug. Masuk kamar Pater Servulus seperti memasuki ruang pengadilan. Dia tersenyum dan ambil botol whizky kecil (saat itu untuk pertama kali saya melihat botol whizky), mengambil dua sloki, menuangkannya lalu kami toast. Dia tersenyum. Tapi wajah saya masih asam. Hmmmm, ada apa ya ini, gumam saya dalam hati.
Lalu dia mengambil skripsi saya dari mejanya. Saya lihat, clear and clean. Tidak ada coretan. “Bagus, sehr zufrieden (=sangat puas). Saya pikir kemarin kamu buat asal-asalan karena baru saya berikan buku aslinya.”
Baca juga: Pater Servulus Isaak SVD Tutup Usia, Ini Kesaksian Konfrater SVD Ruteng, Pater Wilfrid Babun SVD
Mata saya berkaca-kaca. Terharu gembira. Benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan pujian seperti itu. Dia tahu, lalu bilang: “Sudah, sudah, kamu sudah kerja keras, termasuk cepat.”
“Tapi saya tidak lihat index e Pater”
“Hah, terus bagaimana”
“Saya baca alinea-alinea yang ada stabilo kuningnya”
Hahahahaahahaha, hahahahahahaha, dia tertawa terbahak-bahak dengan sangat kencang. Mungkin karena merasa kecolongan, sampai-sampai waktu dia minum, dia ambil sloki saya yang masih isi setengah.
“Ini saya punya sloki, pater,” kata saya sambil mencegah tangannya. Kami dua terbahak-bahak sekencang-kencangnya.
Ketika hendak pamit, dia memberitahu saya jangan lupa segera infokan sekretariat untuk meminta jadwal sidang.
Satu Pertanyaan
Tibalah saat ujian skripsi. Penguji utama ialah ekseget muda Perjanjian Baru: Pater Guido Tisera. Dia baru pulang studi dari Roma. Dan waktu itu mengajar tingkat kami: Khotbah di Bukit.
Saya tidak tahu, dan selalu lupa saya menanyakan ketika beberapa kali berjumpa Pater Guido di Jerman, kenapa dia begitu bersemangat menguji serta memberi pertanyaan banyak sekali. Anehnya tidak tentang substansi tapi tentang relevansi skripsi.
Masih ingat betul, misalnya, dia tanya siapakah Yehezkiel-Yehezkiel di NTT? Saya jawab: misionaris-misionaris awal dan pahlawan-pahlawan lokal. Sesudah itu, dia tanya lagi, di Indonesia? Saya jawab: Ada Gus Dur, Sukarno, Hatta, Soetan Sjahrir, Uskup Soegjopranoto berikut dengan segala penjelasan sekenanya. Masih tidak puas lagi, dia singgung di level Asia. Siapa di Asia? Saya jawab: Mahatma Gandhi.
Mulailah saya dengan mulut berbusa-busa menjelaskan prinsip gerakan non-violence Mahatma Gandhi, sebuah gerakan yang mengubah wajah dunia. Di sana-sani saya menyebut buku-bukunya dengan judul dan tahun penerbitan lengkap. Mengapa? Ini yang Pater Guido tidak tahu. Sebulan sebelumnya saya mendapat kiriman buku-buku Gandhi tentang non-violence dan dampaknya bagi peradaban dunia dari Pater Dami Mukese SVD yang saat itu sedang studi di Manila. Sedianya, tentang Gandhi mau dimasukkan di bagian tentang relevansi tapi karena keterbatasan space, Pater Servulus bilang, tidak usah.
Saking semangatnya saya menjelaskan Gandhi sampai-sampai Pater Guido tak sempat bertanya lagi, atau lebih tepat lupa untuk bertanya, sementara itu saya melihat Pater moderator Servulus tersenyum sambil melihat arlojinya.
Begitu tiba giliran dia, singkat: “Semua sudah dielaborasi oleh penguji utama, dari saya, satu: apa kendala terutama menjalankan restorasi Yehezkiel di tengah-tengah kemajuan dunia yang begini pesat?”
Ketika orang tidak mendengarkan suara hatinya, jawab saya.
Langsung Pater Guido sambung: Betulllllll, hahahahahaha.
Pater Servulus juga ikut tertawa. Tapi saya masih terheran-heran. Apa yang lucu ya, gumam saya dalam hati.
Pater Guido: Memang ada apa dengan suara hati.
Suara hati adalah suara Tuhan, Pater!
Serempak keduanya tertawa dan ujian dinyatakan selesai oleh Pater Servulus dalam keadaan tertawa.
Tiga puluh tahun kemudian ketika di Hilversum, kami jalan-jalan dari rumah menuju kantor saya Radio Nederland Wereldomroep, di minggu pagi, saat itu dia balik dari kapitel general di Roma, saya iseng tanya, ‘om tuan, kenapa dulu waktu skripsi hanya tanya satu pertanyaan?”
Dia tertawa kecil: “Aeh, kalo kau sudah tahu apa yang kau tulis, untuk apa lagi saya tanya.” Sejak saat itu, saya tidak berniat sedikt pun untuk bertanya lagi. Selama tiga hari di rumah, dia lebih banyak berinteraksi dengan anak saya Beatus dalam bahasa Belanda dan lebih banyak berbicara tentang hal-hal kecil yang tetek bengek.
Begitupun saat sedang duduk-duduk santai di rumah, saya bertanya tentang usaha-usaha besar di STFK Ledalero, dia jawab sekenanya dan tampaknya kurang tertarik untuk omong hal-hal besar.
Ketika dalam perjalanan pulang setelah mengantarnya ke Den Haag, dalam mobil, istri saya nyeletuk: “ ini pater Servulus sangat sederhana, tapi saya rasa ini orang besar.” Saya pun ikut membatin.
Dari semuanya ini, ingin saya katakan satu benang merahnya. Ialah dia mencinta sampai tuntas. Memang begitulah sebenar-benarnya cinta. Cinta ya cinta, katakan saja cinta. Jangan bilang ini itu, ngambek-ngambek tapi akhir-akhirnya cinta juga, fenomena gamblang peradaban zaman now yang menggilas cinta ke seolah-olah cinta.
Seindah-indahnya
Kepergiannya dalam sunyi karena Covid-19 dengan tata cara protokol kesehatan yang ketat, menjadi kritik untuk saya dan kami-kami yang masih hidup, untuk: ayo, berlomba-lombalah menjadi kecil. Siapa bilang orang kecil adalah kecil?
Kebanyakan orang kecil adalah orang besar. Mereka bukan hanya berhati tabah, bermental baja dan berperasaan terlalu sabar, tapi juga berkemampuan hidup yang luar biasa. Mereka sanggup dan rela berjualan beberapa botol air untuk penghidupan primernya. Saya dan kamu-kamu di luar sana, pasti juga sanggup berjualan seperti itu, tapi tidak rela.
Siapa bilang orang kecil adalah kecil? Orang kecil mampu menjadi kenek angkutan, menjadi satpam, menjadi tukang parkir, tukang sampah atau menjadi pembantu rumah tangga seumur hidup. Sedangkan saya, mungkin kamu-kamu, tidak mampu dan tak akan pernah bisa membuktikan bahwa kita sanggup menjadi kenek atau satpam atau pembantu rumah tangga seumur hidup.
Orang-orang kecil itu besar karena ikhlas untuk tidak boleh terlalu memikirkan harapan dan masa depan. Sementara kita selalu memamerkan harapan dan masa depan yang kita pidatokan seakan-akan berlaku untuk mereka, padahal hanya berlaku untuk kita.
Orang-orang kecil itu adalah orang-orang besar yang berjiwa besar. Mereka senantiasa siap menjalankan perintah kita dan menyesuaikan segala perilakunya dengan kehendak kita. Jadi, siapa sebenarnya orang kecil dan orang besar?
Hidup Pater Servulus, berkata: “Hey, kamu-kamu ini sejatinya orang kecil tapi kamu-kamu anggap diri orang besar. Jangan-jangan mampumu hanya jadi orang besar. Kamu tu hanya ikhlas berjiwa sosial dan dermawan kalau kamu kaya, sukses dan berkuasa. Kamu hanya sanggup menjadi pembesar. Kamu hanya sanggup memerintah dan menggantungkan diri pada orang yang kamu perintah.”
Dunia yang gegap gempita ini memang tidak nyata bagi Pater Servulus. Kalaupun dianggap nyata tapi dia tidak tertarik. Dia meninggalkan harta, kekuasaan dan segala-galanya. Dia bahagia dan khusyuk dalam kesunyian, kekecilan dan ke-tiada-apa-apa-nya di Soverdi Ruteng, melalui hal-hal kecil yang sepele: mendengarkan keluhan sesama, duduk berjam-jam syering dan berbagi, tanpa harus bersibuk-sibuk membuat jadwal dan protokol kesehatan, sambil menaburkan kasih sayang sebisa-bisanya dan sehabis-habisnya. Inilah ‘kata-seindah bunga’-nya yang tak terlupakan. Dan inilah seindah-indahnya kehidupan.
Bahagia di surga, Pater Servulus. Saya dan kami adik-adikmu di sini sedang terjerembab dalam peradaban yang sampai hari ini menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan. Berlagak jadi orang besar dan hebat yang disangka dengannya bisa merebut dunia dan surga dalam sekali sapuan.
***
(gnb:tmn aries:jkt:selasa 13 april ’21)