KATA SEINDAH BUNGA, Narasi Servulus Isaak SVD
Bahagia di surga, Pater Servulus. Saya dan kami adik-adikmu di sini sedang terjerembab dalam peradaban
Tapi apa yang menjadi ‘umumnya’ itu, tidak terjadi untuk Pater Servulus. Di situlah, saya tertegun. Saya membacanya sebagai kebesaran Pater Servulus justru dalam hal-hal rinci dan kecil-kecil begini. Padahal dia kurang apa kuasanya? Dia wakil dekan bidang akademik. Bergelar besar, kecerdasan besar, jabatan besar. Kebesarannya justru bersinar melalui hal-hal kecil ini. Saya mencintainya sejak saat itu. Karena siapa berani berkata cinta itu tidak muncul dari hal-hal sederhana dan kecil-kecil?
Kebaruan berikut terjadi pada saat retret tahunan untuk pembaharuan kaul. Tingkat dua hingga tingkat lima, bergabung. Dialah pembimbingnya. Lupa apa tema-nya tapi yang dia refleksikan ialah kitab eksodus. Amat berbeda jika dia menjelaskannya dalam kerangka kuliah. Dalam retret ini, dia menyuruh kami membaca kitab eksodus lalu menangkap apa pesannya. Terakhir dia merangkum dengan bahasanya yang indah, seolah menampung semua tangkapan-tangkapan kami ke dalam jala besar. Sejak saat itu, saya maklum: “ohhhh...Kitab Suci bisa dijadikan retret!” Di akhir retret, dari mulutnya, saya mendengar bahwa inilah sejenis retret biblis.
Pasca retret biblis ini, berkecambah di dalam hati saya sebuah kecintaan terhadap Kitab Suci (Perjanjian Lama) untuk tidak sekedar memperlakukannya sebagai obyek studi. Pada waktu lain, dia memberikan tips untuk mendapatkan pesan Kitab Suci ialah menulis ulang ayat-ayatnya. Di mana ada kata atau frase yang diulang-ulang, berarti hal itu penting. Setelah kami enjoy mengerjakannya, barulah dia menyampaikan istilah teoretis untuk kerja penafsiran seperti itu, namanya metode struktural.
Begitu indahnya retret dan kuliah-kuliahnya, sampai-sampai tiga puluh tahun kemudian, ketika saya bertemu dengan teman kelas saya Dr Alex Seran, etikawan di Pusat Etika Unika Atmajaya Jakarta, setiap kali menyebut Pater Servulus, yang diingatnya ialah tesis yang berulang kali keluar dari mulutnya saat retret itu: “dosa para pemimpin ialah tidak percaya!” Sambil dia ingatkan saya, masih ada lagi tiga istilah lain, teman: “ retret biblis, metode struktural dan nomen klatura.!”
Tuntas
Kebaruan berikutnya: tuntas! Ini pengalaman pribadi saya, ketika dia menjadi moderator skripsi saya tentang Restorasi Yehezkiel. Semula, pertimbangan saya, sederhana. Dia ahli Perjanjian Lama dan cocok-lah memilihnya sebagai moderator. Yah, untuk mudahnya secara teknis, begitu pikir saya.
Oh, ternyata saya keliru besar. Dalam proses pengerjaannya, saya sadar bahwa mendapatkan bimbingan dia adalah sebuah kemewahan tak terkira. Saya menyebutnya: cinta yang tuntas, tidak setengah-setengah, tidak asal-asalan.
Selain mepet waktunya hanya dua setengah minggu, setelah outline dan buku-buku utama sebagai referensi disetujui, mulailah saya mukut bekerja. Saya ke ruang majalah Vox, bawa semua buku-buku utama, mengunci pintu, lalu kerja tuk-tak-tuk-tak dengan mestin tik tua. Keluar ruangan hanya untuk makan, doa dan tidur. Setelah seminggu, selesai minus bab relevansi. Dengan bangga, saya membawa ke kamarnya.
Besok sore ya, datang lagi, kata dia. Baik, pater, jawabku. Ringan langkah saya ke kamar dan untuk pertama kalinya tidur nyenyak malam itu. Tibalah esok itu. Ini, saya sudah baca (sambil dia tunjukkan ke saya). Wajah saya seperti tersambar kilat. Banyak sekali garis menggaris di kertas-kertas skripsi saya.
Melihat saya ciut, dia berusaha menghibur: “Hehehehe, jangan dulu mati kutu e, lihat dulu!” Saya mulai menyimak. Aduh, garis menggaris itu bukan soal susunan pikiran dan kalimat tapi tentang perluasan tema saya itu yang terkait pada buku-buku lain, yang diungkapkan secara lain oleh nabi-nabi lain, bahkan yang diulang dalam Perjanjian Baru, sambil menyebut injil-injilnya.
Jujur, saya langsung apes seperti tikus basah. Lalu sambil membela diri: “Pater, saya inikan mengulas hanya ayat ini dari Yehezkiel, konteks historis dan metodologinya sitzt im leben”. Dia tertawa kecil, dan dalam hati saya bergumam: “aduh, ini nyinyir atau apa ya.”
“Saya paham maksud kamu,” sambungnya, “hanya sebagai tulisan ilmiah, demi komprehensiblitas, harus juga menyinggung siapa dan di mana hal yang sama diulang atau dibahas, sehingga nilai dari tema ini akan terlihat!”
Saya diam. Tapi mulai keringat dingin ketika dia bilang: “Geradus, ini bukan buku asli yang kau baca, ini buku aslinya.” Lalu dia ambil dari raknya, saya lupa judulnya tapi buku itu ditulis dalam bahasa Jerman.
Saya coba membela diri lagi: “Yang penting isinya sama ka Pater.” “Bukan begitu juga,” jawabnya, “tapi demi orisinalitas harus dilakukan, kecuali kalau buku aslinya tidak ada. Saya dulu pernah buat paper tentang ini barang.”
Lalu dia mengambil paper yang ditulis dalam bahasa Italia. Dia membuka halaman demi halaman tapi saya melihat sekenanya saja demi basa basi karena batin saya sedang galau. Singkat kata, revisi substansi cukup banyak karena tema harus diperluas. Dan buku utama Yehezkiel dalam edisi Jerman dibawa pulang untuk dibaca dan digunakan sebagai sumber asli.