Opini

Menuju (Sakramen) Politik Ende

Lanskap politik lokal Ende yang terlecut dari kekosongan kursi wakil bupati terus saja diwarnai “tarik tambang” kepentingan partai koalisi

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Steph Tupeng Witin 

Proses perjuangan untuk memenangkan permainan kepentingan ini patut diduga kuat sarat dengan kasak-kusuk menadah tangan ke pimpinan partai beruang di “atasnya” agar menyediakan amunisi sebanyak-banyaknya untuk memuluskan mekanisme politik transaksional di ruang DPRD.

Pada akhirnya, saat menjabat, sang wakil bupati tersandera desakan mahar kepentingan ekonomi politik para pengusung yang memakai partai sebagai titian barter politik. Apalagi, calon yang diusung itu jejak kakinya terang benderang dalam kasus dugaan korupsi gratifikasi.

Masa kekuasaan tidak lebih dari sekadar cari celah untuk mencari remah-remah (proyek). Jatah rakyat tunggu guliran recehan kumal saat momen lima tahunan. Saat berkuasa, perut elite koalisi dulu yang diutamakan. Biar bisa bergerak bebas di era politik “masa depan.”

Proses-proses politik kelam seperti ini mesti diawasi publik, terutama kalangan pers lokal di Ende. Media mesti berperan signifikan dalam membangun pencerahan kesadaran rakyat dan kritis terhadap berbagai perilaku buruk elite politik di ruang publik.

Publik Ende sebenarnya gerah dengan gerakan abal-abal segelintir media lokal Ende yang bekerja sekaligus sebagai aktivis partai sarat kepentingan. Malah muncul dugaan, para pekerja media sosial lokal juga mempraktikkan peran “saling kelola” dengan pimpinan parpol demi menadah recehan belas kasihan.

Publik mesti bersikap kritis terhadap sepak terjang media lokal ini agar tidak ikut membajak aspirasi rakyat dan memperkeruh suasana politik lokal Ende.

Tersandera Tiga Persoalan

Analisa konteks politik lokal Ende dalam proses suksesi memperebutkan kursi wakil bupati Ende sesungguhnya tersandera oleh tiga persoalan.

Pertama, nostalgia suksesi 2019-2024 lalu yang melahirkan dua kubu yangg berbeda, Marsel-Ja'far dan Wangge-Munawar. Keterbelahan ini tidak saja terbaca pada akar rumput pemilih tetapi pada jajaran partai politik.

Siapa yang berhak diusung menjadi wakil bupati Ende tidak akan terlepas dari nostalgia masa lalu ini. Apakah hanya Partai Golkar selaku partai asalnya Marsel Petu yang berhak? Atau partai-partai koalisi pengusung juga harus mendapatkan kesempatan “bola muntah” yang tidak akan terulang kembali ini?

Persoalan ini menjadi rumit ketika ditengarai ada unsur partai pendukung yang nyata-nyatanya "membelot" dalam proses suksesi itu hanya untuk menunjukkan diri penting atau sekadar menarik perhatian dengan kiblat ujung-ujung duit alias UUD ala politik Ende.

Malah PKB Ende sesumbar proses mengusung calon hasil membelot dan menelikung ini sudah final (PK 20/02/2021). Pembelotan liar ini menempatkan Partai Golkar yang harusnya mendapatkan jatah calon pada posisi terhempas.

Permainan politik kasar ini hanya dimainkan politisi tuna nurani. Kita patut menduga, partai-partai koalisi pengusung Paket Marsel-Djafar sengaja “menarik tambang” kepentingan dengan harapan bisa berbagi “jatah” pasca terpilih nanti.

Apalagi publik Ende tahu betul, calon yang diusung adalah “teman lama” dalam sekoci “saling kelola” yang mudah dikendalikan dan gampang dijadikan bidak mainan di atas papan catur bertajuk politik kepentingan.

Kedua, kita mesti jujur mengakui bahwa dalam penyelenggaraan roda birokrasi Pemerintahan Kabupaten Ende saat ini, ada banyak hal yang perlu diperbaiki.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved