Perda Nomor 3 Tahun 2020 Pemkab Lembata Menuai Protes Para Buruh Ini Alasannya
Perda Nomor 3 Tahun 2020 Pemkab Lembata Menuai Protes Para Buruh Ini Alasannya
POS-KUPANG.COM | LEWOLEBA - Pemerintah Kabupaten Lembata ( Pemkab Lembata) telah menerapkan Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 3 Tahun 2020 ( Perda Nomor 3 Tahun 2020) Tentang Perubahan Kedua atas Perda Kabupaten Lembata Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha.
Perda yang mulai berlaku tahun 2021 ini menuai protes para buruh karena ada kenaikan tarif yang signifikan.
Ketua Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan Lewoleba Hendrikus Buran merincikan pada tahun sebelumnya, sewa gedung pemerintah untuk kantor koperasi buruh Pelabuhan Lewoleba sebesar Rp 3,6 juta per tahun.
• Lokasi Areal Food Estate Tempat Kunjungan Presiden Joko Widodo di Sumba Tengah Disteril
Kini, dengan adanya peraturan daerah yang baru, pihaknya harus membayar sewa gedung dengan perhitungan Rp 250 ribu per meter per segi.
Sementara luas total bangunan yang disewakan 48 meter persegi. Jadi per bulan mereka harus membayar sewa gedung ke Pemda Lembata sebesar Rp 12 juta per bulan.
"Soal retribusi saya juga kaget. Mestinya dewan kalau bicara soal rakyat harusnya hati-hati, ini soal harkat hidup masyarakat, harus punya nurani, punya pertimbangan dan lihat banyak aspek. Perda itu sah di tengah pandemi yang secara ekonomi kita semua anjlok," ungkap Hendrikus Buran dalam diskusi via zoom yang diselenggarakan Front Mata Mera, Minggu (21/2/2021).
• Anggota DPRD di Kota Kupang Positif Covid-19
Hendrikus yang jadi salah satu narasumber dalam diskusi tersebut menambahkan, selain kewajiban membayar sewa gedung, para buruh juga harus membayar tarif pas masuk pelabuhan sebesar Rp 32 ribu per bulan.
"Ini indikatornya apa. Buruh kerja dalam area pelabuhan masa dia masuk harus bayar pas masuk, coba cek di semua pelabuhan di Indonesia, mereka ditagih pas masuk atau tidak. Setahu saya tidak karena mereka kerja di situ," tegasnya.
Karena pelabuhan itu tempat kerja buruh, maka menurutnya tidak perlu lagi membayar tarif masuk. Ini sama seperti seorang anggota dewan yang harus membayar retribusi saat masuk ke dalam gedung DPRD yang notabene adalah tempat kerjanya sehari-hari.
Hendrikus mengaku kaget dengan adanya perubahan perda retribusi jasa usaha ini karena setahu dia, pihak buruh tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi publik saat perda itu masih berupa rancangan.
Bagi dia, kenaikan retribusi ini selain 'mencekik' leher para buruh, juga kelihatan tidak relevan di tengah buruknya fasilitas publik di Pelabuhan Lewoleba.
Gedung milik pemerintah yang disewakan itu, katanya, juga tak dilengkapi fasilitas air dan listrik yang memadai. Semua fasilitas dilengkapi sendiri oleh para buruh.
"Kasihan ya, buruh ini orang kecil, lalu disuruh bayar sebesar itu. Atas dasar apa itu. Buruh bicara nasib buruh saja hampir pemerintah tidak dengar. Ini pemimpin yang tidak populis," katanya.
Dalam diskusi yang sama, Anggota DPRD Lembata Petrus Bala Wukak, menyebut dirinya mengikuti betul tahapan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lembata Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua atas Perda Kabupaten Lembata Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha ini.
Katanya, sebelum dibawa untuk asistensi di Pemprov NTT dan Ditjen Keuangan pemerintah pusat, ada tahapan uji publik yang harus melibatkan para buruh. Jika tidak, tentu hal ini sangat disesalkan.