Opini
Korupsi di Timor Leste Tantangan bagi Gereja Katolik
Per definisi, korupsi bertentangan dengan prinsip kejujuran dan keserakahan seperti yang dinyatakan dalam Sepuluh Perintah Allah
Korupsi di Timor Leste Tantangan bagi Gereja Katolik
Oleh: Justin L. Wejak*
POS-KUPANG.COM - Ada asumsi (atau lebih tepatnya espektasi) yang bisa dimaklumi bahwa negara-negara dengan kehadiran agama yang kuat seperti Timor Leste mestinya bebas dari korupsi.
Asumsi ini muncul karena tidak ada satu agama pun yang mengajarkan ketidakjujuran, keserakahan, dan kebohongan. Semua agama, termasuk Katolik – kepercayaan utama di Timor Leste – menghargai kejujuran dan kemurahan hati di antara nilai-nilai universal kemanusiaan lainnya. Nilai-nilai ini bertentangan dengan korupsi, yang terjadi ketika kekuasaan yang dipercayakan digunakan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi.
Sayangnya, anggapan tersebut tampaknya tidak berdasar. Korupsi dapat terjadi di mana saja di dunia, baik di negara agama dan sekuler (atau semi-sekuler). Ini masalah global yang kompleks.
Per definisi, korupsi bertentangan dengan prinsip kejujuran dan keserakahan seperti yang dinyatakan dalam Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 34; Ulangan 10).

Secara khusus, perintah ke-7, 8, dan ke-10 menyoroti mandat Tuhan tentang kejujuran dan integritas. Paus Fransiskus sendiri menggambarkan korupsi sebagai sesuatu yang tentunya “lebih buruk dari dosa.” Karena itu, Paus berkomitmen untuk memerangi korupsi dari dalam gereja, tulis International La Croix.]
Dalam kasus Timor-Leste, korupsi tetap merajalela dan menguras ekonomi negara yang sudah miskin ini.
Pada 2019, menurut indeks korupsi Transparency International, Timor Leste mendapat skor 38. Semakin tinggi skornya, semakin rendah tingkat korupsinya dalam hal jumlah kasus. Banyak yang percaya, pemerintah paling rentan terhadap korupsi karena kemewahan kekuasaan.
Timor Leste resmi menjadi sebuah negara kurang dari dua dekade lalu. Sejak saat itu, dengan giat berupaya memberantas korupsi, misalnya dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau CAC, yang merupakan bagian integral dari tugas legislatif.
Namun, efektivitas kerja komisi ini belum terlihat.
Masalah ketidakadilan dan kemiskinan tetap menjadi perhatian yang mendalam di negara ini. Banyak yang mulai meragukan apakah CAC akan berhasil melaksanakan visinya untuk menciptakan masa depan bangsa yang bebas korupsi. Terlebih pada 2015 ditemukan, pengangguran (62,6 persen) merupakan masalah terbesar di negara ini, disusul oleh kemiskinan (49 persen), dan korupsi (17,6 persen).
Data ini, sebagaimana disajikan oleh CAC, secara umum telah diterima, tetapi 77 persen penduduk tampaknya menunjukkan masalah yang paling mendesak bukanlah pengangguran tetapi korupsi.
Bagi mereka, Korupsi, Nepotisme, dan Kronisme (CNC) biasa terjadi di hampir semua tingkat pemerintahan. Faktor utama yang menciptakan CNC, menurut temuan CAC 2015, seperti dikemukakan Jonas Guterres, adalah keinginan untuk memperoleh kekayaan instan (60,6 persen), rendahnya gaji pejabat (39,2 persen), kurangnya etika (36,2 persen), dan penegakan hukum antikorupsi yang buruk (27,5 persen).
Menurut Aderito de Jesus Soares, dalam artikel 2013 “Korupsi: Menghindari” Ritualisme Kelembagaan,” banyak orang di Timor Leste yakin, korupsi adalah produk sejarah penjajahan. Bagi mereka, itu adalah impor atau warisan asing. Portugal dan khususnya Indonesia harus disalahkan. Kambing hitam ini sebagian dapat dilihat sebagai cara untuk menghindari tanggung jawab dalam pemberantasan korupsi. Tercatat, pada masa pendudukan Indonesia, korupsi merajalela di semua lapisan masyarakat. Sayangnya, hal itu terus terjadi pasca-kemerdekaan.