Opini Pos Kupang
Solidaritas yang Melampaui Sekat
Memasuki tahun 2021, saya bayangkan sedang berjalan meniti jembatan kayu rapuh di atas sungai berbatu yang bergemuruh arusnya
Pada 3 Oktober 2020 di Basilika Santo Fransiskus Asisi, Paus Fransiskus menerbitkan ensiklik ketiga selama masa pontifikatnya berjudul "Fratelli Tutti" yang berasal dari Bahasa Italia, artinya "semua saudara".
Judul ensiklik ini menimba inspirasi dari hidup St. Fransiskus Asisi yang menekankan pentingnya persaudaraan yang melampaui sekat-sekat perbedaan. "Fratelli Tutti" merupakan tanggapan Paus Fransiskus atas krisis kemanusiaan yang menjangkiti dunia, yakni kesenjangan ekonomi, kapitalisme, politik identitas, peperangan, radikalisme, terorisme, pandemi Covid-19, berita bohong (hoaks) dan sebagainya.
Ia menawarkan pentingnya pembangunan persaudaraan dan persahabatan sosial. Setiap orang diundang menjadi saudara bagi sesamanya, melampaui sekat-sekat perbedaan. Perbedaan tidak dipandang sebagai sumber perpecahan, melainkan pintu dialog persaudaraan.
Hal ini menggambarkan undangan kepada semua pihak yang tergerak mengupayakan dialog kemanusiaan dan persaudaraan (2020: 73-75).
Badai krisis kemanusiaan tersebut mengungkap semua tujuan palsu yang telah mebuat kita lupa apa sesungguhnya yang telah memelihara jiwa bangsa kita. Badai ini membuka tabir semua upaya pembiusan melalui kebiasaan-kebiasaan yang tampaknya "menyelamatkan", tidak mampu memohon ke "akar kita", membangkitkan ingatan pada sejarah dan merampas kita dari kekebalan berbasis kearifan lokal yang diperlukan untuk menghadapi kesulitan.
Dengan badai, runtuhlah masker yang dipakai untuk menutupi "ego" kita yang selalu cemas akan citra diri dan terbukalah kesadaran bersama bahwa kita adalah saudara. Kita diinsafkan bahwa matahari tidak bersinar untuk dirinya sendiri. Bunga tidak menyebarkan keharuman untuk diri sendiri.
Hidup untuk orang lain adalah aturan alam. Kita semua dilahirkan untuk saling membantu, tidak peduli betapa sulitnya itu (Fransiskus: 2020).
Kita telah berada dalam ziarah awal tahun 2021. Bayang-bayang ketidakpastian hadir di tengah terjangan pandemi Covid-19 yang mengepung. Kita semua mesti berkata "tidak" pada godaan menjadi pesimis, apalagi menyerah. Kita mesti membuktikan kesaktian kata-kata Pujangga India Rabindranath Tagore bahwa penderitaan itu agung tapi manusia tetap lebih mulia dari penderitaan.
Kita mesti menginvestasikan kemampuan bersama untuk memelihara harapan, mengukuhkan kemauan untuk tetap bertahan hidup dan mengibarkan bendera solidaritas agar meniadakan "aku, kami, mereka" dan merawat "kita."
Hanya dalam perspektif "kita" tumbuh kesadaran beragama bahwa di satu pihak, Tuhan seolah tidak bisa menolong menghilangkan penderitaan yang terjadi di dunia saat ini, di pihak lain Dia bukan tidak berbuat apa-apa. Semua agama yakin bahwa Gusti Mboten Sare.
Tuhan tidak pernah tidur. Inti soal bukan pada penderitaan yang mengerikan tapi cinta yang solider. Hanya melalui solidaritas kemanusiaan, kita tetap bersatu dalam perahu bangsa berlayar menuju masa depan kaya harapan. (*)