Opini Pos Kupang

Solidaritas yang Melampaui Sekat

Memasuki tahun 2021, saya bayangkan sedang berjalan meniti jembatan kayu rapuh di atas sungai berbatu yang bergemuruh arusnya

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Solidaritas yang Melampaui Sekat
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh : Steph Tupeng Witin, Penulis, Perintis Oring Literasi Lembata

POS-KUPANG.COM - Seorang sahabat jurnalis media nasional mengirim sebuah pesan reflektif pada awal tahun 2021. Pesannya singkat tapi bernas. "Memasuki tahun 2021, saya bayangkan sedang berjalan meniti jembatan kayu rapuh di atas sungai berbatu yang bergemuruh arusnya dan siap menelan siapa saja yang jatuh."

Pesan ini menyadarkan kita yang tengah dikepung virus corona. Kita mendengar ada tetangga dekat rumah, teman, saudara tertular bahkan ada yang meninggal.

Banyak tokoh agama dirawat karena tertular. Fakta ini mengantar kita pada sharing pengalaman rohani yang mendalam yang belum pernah kita lakukan sebelumnya.

Baca juga: Transportasi di Jalan Menuju Golo Woi Ibu Kota Kecamatan Cibal Barat Lumpuh Total Hingga Saat ini

Membicarakan tujuan hidup, betapa kita rapuh dan butuh penyertaan Tuhan, bertanya apa yang Tuhan kehendaki pada hidup kita ketika kita saksikan begitu banyak orang jatuh.

Sementara di sisi lain, para elite dan pebisnis terus membicarakan akselerasi pertumbuhan ekonomi alias akumulasi kapital, di sisi lain sungguh banyak orang lain kesulitan bahkan hanya sekadar makan tidak cukup.

Baca juga: Pantau Penanganan Pasien Covid-19, Wagub Josef Nae Soi Serahkan Hidro Oxy Spray di RS Kota

Di banyak tempat negeri ini, pembangunan rumah ibadah di masa pandemi dihentikan ketika sebagian umat bersikap kritis dan sumbangan untuk pembangunan rumah ibadah jauh berkurang. Kita semua seperti sedang berada di dalam satu perahu, semua kita rapuh dan kehilangan orientasi.

Meski kaki kita seperti sedang "berjalan meniti jembatan kayu rapuh di atas sungai berbatu", optimisme, harapan tidak pernah boleh padam. Merawat asa, termasuk di awal tahun 2021, sangat urgen bagi publik agar bisa bertahan dari pandemi Covid-19.

Harapan menjadi energi yang akan terus menggerakkan kehidupan meski-meminjam kata-kata kolumnis Kompas Jean Couteau-harapan pada 2021 bisa jadi seperti cakrawala, berkelap-kelip di kejauhan dan sulit untuk menggapainya, apalagi mewujudkannya (Kompas 4/1/2021).

Harapan itu bersemi ketika hati kemanusiaan peka dan tanggap dengan realitas sekitar. Banyak sesama terpuruk bahkan menunggu waktu jatuh ke "atas sungai berbatu."
Pertanyaan muncul "siapakah sesamaku manusia?"

Apakah kita hanya sekadar jadi penonton yang kehilangan sensitivitas kemanusiaan? Apakah kita hanya gerombolan yang sekadar "numpang lewat" sambil melihat sesama terkapar di seberang jalan setengah telanjang penuh luka karena gagal terpapar keprihatinan korban?

Arti sesama menjadi kabur. Ada jurang pemisah antara "aku" dan "mereka". Banyak orang lupa artinya menjadi "kita". Ada fenomena "buta huruf kepedulian" yang membuat seseorang gagal melihat orang lain sebagai saudara. Perhatian kepada mereka yang tersingkir pun menjadi sesuatu yang seolah-olah berada di luar teritori kemanusiaan.

Ketidakpedulian adalah bentuk pembiaran atas tindak kejahatan. Ketidakpedulian ini dipertajam dengan sebuah ironi karena mereka yang melewati orang-orang yang terkapar adalah kalangan yang sangat disiplin mengedepankan praktik keagamaan dan gemar meneriakkan keagungan Tuhan di jalan-jalan publik. Inilah yang menjadi poin kritis.

Ada momen ketika kesalehan dalam peribadatan kepada Tuhan, tidak cukup berdampak dalam hidup konkret seseorang. Kedekatan dengan Tuhan dapat dipertanyakan saat iman yang diyakini tidak terjelmakan dalam tindakan konkret. Buku-buku suci keagamaan diakrabi sekian dangkal sehingga terbentuk kesalehan personal di ruang privat tapi gagal ternarasikan dalam kesalehan sosial di ruang publik (Bdk. Wibisono dan Setiawan:2020).

Melampaui Sekat

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved