Opini Pos Kupang

Voting Behavior Pemilih Milenial dalam Pilkada

Dinamika memberi suara dalam Pilkada Serentak yang akan berlangsung pada 9 Desember 2020 merupakan halurgen yang perlu diindahkan

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Voting Behavior Pemilih Milenial dalam Pilkada
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh Wardy Kedy Alumnus Magister Psikologi UGM

POS-KUPANG.COM - Dinamika memberi suara dalam Pilkada Serentak yang akan berlangsung pada 9 Desember 2020 merupakan halurgen yang perlu diindahkan.

Dinamika yang sama juga turut memengaruhi perilaku memilih dari pemilih milenial yang menurut data KPU dan data dari berbagai lembaga survei seperti LIPI dan LSI, menunjukkan bahwa pada pemilu 2019 yang lalu, jumlah pemilih milenial sekitar 40 persen, ditambah lagi dengan pemilih pemula (baru pertama kali memilih) sekitar 15 persen.

Sedangkan, dalam Pilkada 2020 tahun ini, diperkirakan di setiap daerah, jumlah pemilih milenial dan pemilih pemula mencapai sekitar 60 persen, terbanyak dibanding pemilih kategori lain, seperti pemilih perempuan ataupun pemilih dewasa.

Baca juga: Pilkada Sumba Timur - Kapolda Pantau TPS di Kambera

Hal ini menjadikan tingkat partisipasi pemilih pemula dan pemilih muda (generasi milenial) memiliki peranan penting dalam menentukan peta politik Indonesia di masa depan.

Beranjak dari sini, maka kita perlu memahami karakter dan mental kaum milenial yang sangat unik, khas dan berbeda dengan generasi sebelumnya sehingga bisa merebut suara mereka.

Siapa itu Pemilih Milenial?

Pemilih milenial merupakan generasi yang lahir pada kisaran tahun 1980an -2000an. Banyak istilah popular yang digunakan untuk menyebut generasi ini seperti connected/digital generation yang identik dengan karakter berani, inovatif, kreatif, dan modern.

Baca juga: Bawaslu Tertibkan Semua APK Paslon di Ngada

Generasi ini banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, sms dan media sosial seperti facebook, instagram dan twitter.

Dengan kata lain, pemilih milenial adalah generasi yang tumbuh dalam era di mana internet sedang berkembang pesat.Yang termasuk dalam kategori pemilih milenial adalah pemilih pemula dan pemilih muda dengan rentang usia berkisar dari 17 hingga 35 tahun.

Dalam berbagai survei dan analisis, didapatkan hasil bahwa generasi milenial mampu memberikan kontribusi besar dalam politik Indonesia. Hal ini menjadikan banyak partai politik mulai mencaritahu kriteria yang akan menjadi tolak ukur pemilih milenial dalam memutuskan siapa yang akan dipilih terutama pada saat Pilkada nanti.

Maka dari itu, keputusan generasi milenial dalam menentukan pilihannya pada saat proses pemungutan suara sangat berpengaruh pada masa depan mereka sendiri.

Dalam pengambilan keputusan tersebut terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi keputusan generasi milenial dalam memilih, salah satunya adalah voting behavior.

Voting Behavior Generasi Milenial

Dalam arti sempit, voting behavior merupakan keputusan pemilih dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu dalam Pilkada maupun Pemilu.

Perilaku memilih ini merupakan sebuah aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not vote) di dalam Pilkada (Pemilu langsung).

Jika dikaji dalam ranah ilmu Psikologi, voting behavior kaum milenial dipengaruhi oleh dua hal yakni, sikap dan sosialisasi. Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku politiknya.

Terbentuknya sikap ini diawali dengan proses sosialisasi yang membentuk keterikatan dengan partai politik dan menimbulkan identifikasi tanpa disadari individu.

Proses sosialisasi yang terjadi juga akan membentuk ikatan psikologis seseorang dengan partai politik atau dengan kandidat tertentu.

Persepsi mereka terhadap seorang kandidat yang sudah mensosialisasikan diri mereka dalam berbagai media (sosial) adalah hal yang penting dalam proses pengambilan keputusan untuk memilih.

Di sini, diketahui bahwa peran media, khususnya media online dan media sosial memiliki andil yang cukup penting bagi keputusan memilih kaum milenial.

Bahwasannya kaum milenial adalah orang-orang muda yang memiliki interaksi cepat dan terkoneksi secara intens dengan internet. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa lingkungan keluarga dan pertemanan online, sangat mempengaruhi pilihan politik mereka, khususnya pada saat pertama kali mereka memilih.

Milenial Voters sebagai Pemilih Aktif dan Cerdas

Banyak pandangan yang selalu melihat bahwa milenial voters merupakanpemilih yang `galau' (baca: hanya ikut-ikutan) bahkan cederung kurang loyal kepada partai politik maupun pada calon tertentu.

Banyak survei selalu memandang negatif para pemilih milenial karena dikatakan memiliki sikap apolitis bahkan apatis dengan urusan politik. Mereka bahkan dikatakan memilih partai atau kandidat secara pragmatis. Padahal dalam realita, mereka sangat kreatif dan cerdas.

Sebagai bagian dari kaum milenial, saya berani mengatakan demikian karena dunia digital saat ini sangat mereka kuasai. Penguasaan teknologi informasi oleh kaum milenial memungkinkan mereka memiliki akses yang cukup baik dalam mencari informasi seputar politik dan lain sebagainya.

Dengan kemampuan ini, segala informasi menyangkut partai politik ataupun kandidat akan terbaca dengan jelas dan cepat. Karakter generasi milenial yang melek informasi dan hidup mereka banyak dicurahkan untuk berselancar di dunia maya sembari terkoneksi satu sama lain melalui media sosial bukan menjadikan mereka apolitis apalagi apatis, tetapi justeru mereka mejadi lebih jeli dan cerdas dalam memilih.

Kuantitas generasi milenial yang cukup besar ini tidak boleh membuat kita dengan cepat menilai dan menyebut mereka sebagai pemilih yang pasif. Karena pada kenyataannya mereka adalah pemilih aktif.

Sebab dalam dunia maya, tempat di mana mereka beraktivitas, tersedia banyak informasi yang bisa diperoleh secara gratis, sehingga riwayat dan jejak rekam kandidat ataupun partai politik akan terbaca.

Keaktifan generasi digital native tidak terlepas dari sifat khas mereka yakni, kecenderungan ingin tahu yang tinggi, bahkan mereka bisa menelusuri seluk-beluk kehidupan kandidat yang sangat privasi. Segala informasi yang diperoleh akan menjadi dasar politisnya dalam memberikan suara.

Selain memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, perilaku memilih dari milenial voters juga dipengaruhi secara emosional. Itulah sebabnya dalam ranah psikologi, milenial voters dikenal juga sebagai emotional voters.

Dalam arti yang sederhana, pilihan mereka banyak dipengaruhi oleh faktor emosional seperti figur kandidat dan kesamaan identitas yang dilihat lebih `kekinian'. Karena itu, aksi para kandidat yang kadang dinilai sangat `lebay' atau `alay' oleh segelintir elit politik generasi lama, sebenarnya memiliki pengaruh yang penting bagi perilaku memilih kaum milenial.

Aksi-aksi unik dan kreatif itu malah memiliki pengaruh emosional yang powerful dan bisa mencuri hati para pemilih milenial. Dalam ranah psikologi, pengaruh emosional ini dikenal dengan sebutan emotional hijacking (pembajakan emosi).

Artinya, sentuhan emosional bisa memikat dan merasuk pikiran yang rasional sekalipun. Pembajakan emosi ini merupakan respons cepat seseorang saat dihadapkan pada situasi kritis walau aksinya bisa dapat benar atau bisa juga salah.

Karena itu, sentuhan emosional yang kreatif di berbagai media, khususnya media sosial diharapkan bisa menjadi senjata ampuh untuk meraup suara pemilih milenial secara tepat pada Pilkada 9 Desember 2020 mendatang.

Sebagai bagian dari generasi milenial, besar harapan saya kiranya preferensi politik pemilih milenial dalam politik elektoral Indonesia dapat sesuai dengan idealisme dan tidak terjebak dalam kungkungan pragmatism semata. Selamat menyongsong Pesta Demokrasi. Say no to golput. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved