Talkshow Pancasila FKUB Provinsi NTT

Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 2)

Trilogi kerukunan adalah politik kerukunan yang dicanangkan oleh Menteri Agama, Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978-1983)

Editor: Agustinus Sape
POS-KUPANG.COM
Dr. Norbertus Jegalus (tengah depan) bersama anggota FKUB Provinsi NTT mengekspresikan Salam Kerukunan usai acara Talkshow di Auditorium Harian Pos Kupang / POS-KUPANG.COM, Selasa (24/11/2020). 

Akan tetapi PBM ini juga tetap rentan terhadap konflik, terutama pasal 13, karena membuka ruang bagi pelbagai penafsiran khususnya menyangkut pengertian „komposisi jumlah penduduk“ dan „keperluan nyata dan sungguh-sungguh“. Karena pemerintah dalam penjelasan resminya tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan komposisi penduduk dan keperluan nyata.

Pemerintah hanya mengatakan bahwa „dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud di atas tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi“.

Kemudian dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keperluan nyata adalah „bila terdapat sekurang-kurangnya 90 pemeluk agama dewasa (dengan KTP) di suatu wilayah kelurahan/desa atau kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi“.

Dari penjelasan itu ternyata yang dimaksud dengan komposisi penduduk adalah persyaratan minimal jumlah pemeluk agama dewasa di suatu wilayah untuk bisa mendirikan sebuah rumah ibadat. Persyaratan ini tetap rentan dengan konflik, karena ada komunitas agama yang demi kepentingan komunitasnya sebagai komunitas mayoritas di wilayahnya, maka mati-matian mempertahankan jumlah 90 pemeluk itu.

Begitu mereka melihat fakta bahwa jumlah yang dituntut tidak terpenuhi, meski pendirian rumah ibadat itu suatu keperluan nyata dan sungguh-sungguh, maka mereka menolaknya dengan pelbagai cara termasuk dengan cara pengrusakan atau pembongkaran. Sementara pengertian „keperluan nyata dan sungguh-sungguh“ tidak diterangkan oleh pemerintah.

Persoalan lain adalah tentang pemanfaatan sementara bangunan gedung yang bukan rumah ibadat untuk ibadat yang diatur dalam pasal 18 sampai pasal 20. Pasal 18, ayat 1 berbunyi: „Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan: a. laik fungsi; dan b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat“.

Persoalan kita selama ini adalah bahwa ada kelompok umat beragama yang menggunakan rumah tempat tinggal untuk beribadat, karena tidak mendapatkan izin membangun rumah ibadat dan juga karena tidak mampu secara finansial membangun sebuah rumah ibadat. Namun komunitas agama mayoritas merasa „tidak nyaman“ kalau ada sekelompok kecil umat beragama lain menunjukkan diri mereka dalam bentuk perayaan ibadat agama di wilayahnya.

Perasaan tidak nyaman dari kaum mayoritas inilah yang memicu lahirnya konflik. Dan itu didukung oleh sikap Pemerintah Daerah yang cenderung menganjurkan kepada mereka yang ingin menggunakan tempat sementara untuk beribadat, yaitu kepada komunitas minoritas, untuk memperhitungkan atau menghormati perasaan kaum mayoritas. Tetapi apakah menghormati perasaan kaum mayoritas ini wajar.

RUU Kerukunan Umat Beragama

Melihat banyak kasus kerusuhan atau konflik bernuansa agama dengan korban paling banyak adalah perusakan dan pembakaran gedung Gereja, Menteri Agama Tarmizi Taher pada tahun 1997 mengusulkan sebuah rancangan undang-undang tentang Kerukunan Umat Beragama.

Namun justru kaum Kristen sendiri yang paling depan menolak RUU tentang Kerukunan Umat Beragama itu, karena di mata kaum Kristen, RUU KUB ini sesungguhnya lebih banyak menciptakan masalah daripada menyelesaikan masalah. Intervensi negara begitu besar terhadap urusan agama dan pengaturan pidananya pasal 49-53 sangat mengekang kebebasan beragama baik dalam wujud pengajaran maupun peribadatannya.

RUU KUB (ps.10) mengatur bahwa hari besar agama hanya dirayakan dan diikuti oleh pemeluk agama yang bersangkutan, jadi warga agama lain tidak boleh mengambil bagian dalam perayaan itu. Padahal pengertian hari raya agama seperti diatur dalam pasal 17 adalah bahwa bukan acara ibadat atau kebaktian khusus melainkan hanya sebuah pesta atau pertemuan ramah-tama belaka. Pengaturan seperti ini sangat jelas membuat pengkotakan manusia berdasarkan agama, dan pengkotakan ini jelas tidak mempromosikan kerukunan apa pun di antara anggota masyarakat yang majemuk.

Sedangkan pasal 7 huruf b menetapkan bahwa setiap umat beragama wajib meningkatkan pemahaman ajaran agamanya. Intervensi negara di sini sudah kelewatan. Pengaturan seperti itu hanya dapat terjadi di dalam sebuah negara agama, akan tetapi Indonesia bukanlah negara agama. Yang mewajibkan kaum beragama untuk meningkatkan pemahaman agamanya adalah agama itu sendiri, itu pun diwajibkan tidak secara lahiriah melalui peraturan hukum, melainkan melalui pembangunan kesadaran rohani.

Tugas negara di sini terbatas, yakni hanya menciptakan kondisi yang memungkinkan agama-agama untuk dapat menjalankan ajaran agamanya bukan untuk mewajibkan kaum agama menjalankan ajaran agamanya. Pewajiban secara lahiriah bagi kaum agama melalui peraturan hukum hanya dapat terjadi di dalam negara agama, namun Indonesia bukan negara agama.

RUU KUB ini membuka ruang bagi organisasi sosial keagamaan yang ada di Indonesia untuk mengontrol dengan leluasa pelaksanaan undang-undang ini. Begitu mereka melihat, misalnya, seorang Kristen tidak ke Gereja pada hari Minggu untuk beribadat, maka mereka pun memiliki kekuatan hukum, yaitu undang-undang ini, untuk bertindak atas cara mereka sendiri.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved