Talkshow Pancasila FKUB Provinsi NTT

Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 2)

Trilogi kerukunan adalah politik kerukunan yang dicanangkan oleh Menteri Agama, Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978-1983)

Editor: Agustinus Sape
POS-KUPANG.COM
Dr. Norbertus Jegalus (tengah depan) bersama anggota FKUB Provinsi NTT mengekspresikan Salam Kerukunan usai acara Talkshow di Auditorium Harian Pos Kupang / POS-KUPANG.COM, Selasa (24/11/2020). 

Awalnya adalah SKB No. 1/1969

Untuk mencegah konflik antaragama lantaran pembangunan rumah ibadat, maka pemerintah mencetuskan rencana untuk membuat peraturan yang antara lain mempersyaratkan persetujuan mayoritas masyarakat setempat.

Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, langsung memberikan sikap atas rencana itu: „Jikalau sebuah gereja yang akan didirikan harus mendapat persetujuan mutlak mayoritas, maka ada kemungkinan di Indonesia ini tidak pernah akan ada gereja yang akan berdiri, karena mayoritas masyarakat kita adalah yang beragama Islam“.

Akan tetapi pandangan Ali Sadikin itu tidak membatalkan niat pemerintah untuk mengeluarkan peraturan tentang pendirian rumah ibadat. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, K.H. Moh. Dachlan dan Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud, menerbitkan Keputusan Bersama, yang dikenal dengan sebutan SKB No. 1/1969, di dalam mana ditetapkan khususnya pada pasal 4: Ayat 1: Setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapat izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.

Ayat 2: Kepala daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan: (a) pendapat kepala perwakilan departemen agama setempat; (b) planologi; (c) kondisi dan keadaan setempat. Ayat 3: Apabila dianggap perlu, kepala daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniwan setempat.

DGI (sekarang PGI) dan MAWI (sekarang KWI) langsung mengajukan memorandum kepada pemerintah dan meminta pemerintah untuk meninjau kembali keputusan itu. Argumentasinya adalah bahwa SKB itu memuat suatu kontradiksi di dalam dirinya. Karena di satu pihak negara, seperti ditetapkan di dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945, menjamin hak dan kebebasan beragama dan menjalankan ibadatnya, namun di lain pihak kebebasan itu dikekang yakni adanya persyaratan untuk mendirikan rumah ibadat.

Konflik muncul karena adanya interpretasi masing-masing agama yang tidak luput dari kepentingan diri. Karena di dalam SKB itu tidak secara eksplisit ditetapkan persyaratan bahwa harus ada persetujuan atau tidak ada keberatan dari penduduk di sekitar rumah ibadah yang akan dibangun. Namun dalam pelaksanaannya hal inilah yang menjadi salah satu persyaratan yang justru sangat sulit dipenuhi oleh kaum Kristen.

Karena sulit mendapatkan izin untuk membangun rumah ibadat, ada kaum Kristen yang menjalankan ibadat di rumah-rumah, baik yang dihuni oleh warganya maupun yang secara khusus disewa untuk keperluan itu. Tetapi justru pelaksanaan ibadat di rumah-rumah ini dilarang lagi oleh pemerintah, seperti dilakukan Pemda DKI Jakarta dengan bersandar pada SKB itu.

Karena sulitnya membangun rumah ibadat terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka banyak umat Kristen mendirikan rumah ibadat secara diam-diam. Namun hal itu justru menjadi alasan bagi masyarakat yang tidak menyetujui kehadiran agama Kristen di wilayah itu untuk melakukan penutupan, perusakan dan bahkan pembakaran. Hal itu mereka lakukan karena mereka bersandar pada SKB itu.

Di satu sisi para perusak gedung Gereja itu memahami bahwa merusak rumah ibadat dilarang oleh agama dan kitab suci, namun di sisi lain mereka berusaha membenarkan tindakan kekerasan itu manakala pembangunan rumah ibadat umat Kristen itu dinilai sudah mengganggu dan mengancam eksistensi umat Islam sebagai agama mayoritas di wilayah itu.

PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006

Bertolak dari pengalaman negatif itu pemerintah lalu menyempurnakan SKB No. 1 Tahun 1969 itu dengan PBM (Peraturan Bersama Menteri) No. 9 dan 8 Tahun 2006. Dilihat dari segi proses pembuatannya, PBM ini tampak adanya niat yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk membangun kerukunan antarumat agama karena melibatkan semua unsur atau wakil dari setiap agama dalam merumuskannya.

Majelis setiap agama mengirim wakilnya untuk ikut merumuskan peraturan bersama ini. Dengan itu bisa dijamin bahwa isinya akan sesuai dengan kepentingan semua agama dan tidak ada suatu kepentingan tersembunyi dari kelompok agama tertentu.

Pada intinya PBM ini memuat tiga pedoman pokok: pertama, tentang tugas dan peran kepala daerah/wakil kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama di daerah sebagai bagian dari kerukunan nasional, yang sebelumnya hanya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.

Kedua, tentang tugas dan peran masyarakat dalam memelihara kerukunan, maka dibentuklah wadahnya bernama FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama); dan ketiga, tentang pendirian rumah ibadat. Tetapi justru pedoman pendirian rumah ibadat ini tetap melahirkan konflik antarumat beragama sampai dengan sekarang.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved