Opini Pos Kupang

Kontroversi Pembangunan Jembatan Pancasila Palmerah, PHP atau Urgensi? (1)

Kontroversi Pembangunan Jembatan Pancasila Palmerah, PHP atau Urgensi? (1)

Editor: Kanis Jehola
ISTIMEWA
JEMBATAN PALMERAH - Jembatan Pancasila Palmerah di Kabupaten Flores Timur. 

Kontroversi Pembangunan Jembatan Pancasila Palmerah, PHP atau Urgensi? (1)

Oleh : Andre Koreh, Kadis PUPR NTT 2009-2019 dan Saat Ini Staf Khusus Gubernur NTT

POS-KUPANG.COM - Ketika rencana pembangunan jembatan yang akan menghubungkan Pulau Flores dan Pulau Adonara mulai diwacanakan pada tahun 2014, langsung memicu kontroversi di masyarakat apalagi sampai dianggarkan dana dalam APBD NTT 2015 untuk kegiatan Pra-FS (pra -feasibility study ), dilanjutkan dengan pembiayaan melalui APBN 2016 di Balai Jalan Nasional Wilayah X (waktu itu wilayah VIII -Kupang) untuk kegiatan FS (feasibility study) sebagai kelanjutan Pra-FS tahun sebelumnya.

Banyak yang mendukung walau tidak sedikit yang mencibir dan menolak dengan argumen masing-masing . Yang mendukung alasannya karena memang itu kebutuhan dan layak dibangun. Bagi yang menolak ataupun yang mencibir, alasan pembangunan jembatan itu, bukan kebutuhan tapi sekedar keinginan untuk kepentingan pecintraan rezim waktu itu.

Apalagi saat ini setelah 5 tahun berlalu, berita tentang kelanjutan proyek ini hilang begitu saja. Sehingga wajar sebagian publik merasa ini adalah proyek gagal bahkan ada yang mengatakan telah terjadi pembohongan publik dibalik rencana pembangunan jembatan tersebut.

Baca juga: Politeknik Pertanian Negeri Kupang Gelar Kegiatan Desiminasi Hasil Penelitian

Sebagai salah satu pihak yang terlibat langsung dalam seluruh proses perencanaan, mulai dari ide awal sampai pada pengembangan gagasan dan pemenuhan persyaratan teknis maupun admintrasi untuk merealisasikan jembatan tersebut. Penulis dalam kapasitas sebagai Kepala Dinas PUPR NTT waktu itu, merasa perlu mengurai apa dan bagaimana proyek itu dimulai dan bagaimana kelanjutannya agar menjadi jelas dan publik dapat menilainya secara objektif.

JEMBATAN PALMERAH  -  Jembatan Pancasila Palmerah di Kabupaten Flores Timur.
JEMBATAN PALMERAH - Jembatan Pancasila Palmerah di Kabupaten Flores Timur. (ISTIMEWA)

Bermula dari kebutuhan konektivitas antar wilayah yang menghubungkan jalan provinsi yang ada di pulau Flores dan jalan provinsi yang ada di pulau Adonara.
Saat ini memang terlihat telah terjadi keterpaduan antar moda transportasi darat dan laut dimana kedua pulau terhubung dengan "bus laut" atau "ojek laut". Kondisi ini telah berlangsung ratusan tahun lamanya.

Baca juga: Kapolres Kupang Kota Pastikan Pendisiplinan Protokol Kesehatan Tetap Berjalan

Namun perbaikan dan peningkatan kwalitas pelayanan publik sebagai perwujudan kehadiran negara dalam bidang transportasi menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itu Perda Kabupaten Flores Timur No. 13/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW) untuk tahun 2007-2027 menyebutkan bahwa "salah satu bentuk pengembangan sarana transportasi adalah pengembangan jaringan jalan provinsi .

Untuk menghubungkan jalan provinsi dari Larantuka ke jalan provinsi di Pulau Adonara maka dibutuhkan JEMBATAN PENYEBERANGAN yang menghubungkan Pulau Adonara dan Pulau Flores daratan".

Pernyataan dalam Perda ini menjadi titik tolak munculnya ide untuk membangun jembatan yang menghubungkan kedua pulau ini. Pemda Flotim dan DPRD Kabupaten Flotim yang menyusun dan mengesahkan Perda ini, pernah ataupun sering melintasi selat sempit ini, tentunya berharap hadirnya sebuah jembatan yang menghubungkan kedua pulau ini, dengan pertimbangan selain karena jaraknya relatif pendek, hanya -/+ 850 m, atau 10-15 menit lama perjalanan bila menggunakan speed boat apabila cuaca bagus, tapi juga arus lautnya yang kuat sehingga diberi nama arus Gonzalo (Spanyol: serigala).

Kuatnya arus laut di selat ini membuat para penyeberang was-was akan keamanan penyebarangan, karena sering terjadi kecelakaan perahu tenggelam saat menyeberang . Dengan demikian , kehadiran sebuah jembatan antar Pulau Flores dan Pulau Adonara merupakan kebutuhan dan harapan masyarakat Kabupaten Flores Timur sendiri.

Namun untuk mewujudkan harapan masyarakat Flotim tersebut tentunya tidak mudah karena selain membutuhkan kajian yang mendalam juga pembiayaan yang tidak sedikit.

Hasil perhitungan kasar saat pembuatan Pra -FS, biaya yang dibutuhkan cukup fantastik karena mencapai hampir Rp 5 T. Angka ini membuat warga kembali berpolemik. Ada yang berpendapat untuk apa bangun jembatan yang demikian mahal sementara jalan provinsi masih ribuan km belum ditangani.

Ada pula yang mengatakan impian membangun jembatan ini sulit terwujud karena negara tidak akan mampu dan mau membiayainya, sebab manfaat yang akan didapat, tidak menguntungkan secara signifikan dibandingkan biaya yang dikeluarkan.

Bahkan ada juga yang secara satire, mengatakan kehadiran jembatan itu hanya untuk menyeberangkan ikan asin dan ubi saja .

Semua polemik ini menjadi tantangan dan motivasi tersendiri bagi Pemerintah pada waktu itu. Di satu sisi adanya kebutuhan akan konektivitas tapi disisi lain keterbatasan anggaran menjadi kendala utama. Kondisi dilematis ini membutuhkan inovasi dan kreativitas, serta keberanian mengambil langkah terobosan untuk bisa menemukan solusi ideal agar jembatan dibangun dan manfaat didapat secara optimal.

Maka kehadiran investor menjadi alternatif solusi, walau persoalannya tetap klasik, investor dapat apa jika membangun jembatan ini ? Tidak mungkin investor mau menginvestasikan uangnya begitu saja tanpa tahu keuntungan apa yang akan mereka dapatkan, dan berapa lama rentang waktu untuk bisa meraih laba.

Disinilah proses inovasi dan kreativitas dilakukan, yaitu menemukan dan mengkondisikan potensi dan menjualnya menjadi revenue bagi investor.

Karena jika revenue yang didapat hanya dari traffic kendaraan yang melintasi jembatan dengan pungutan biaya, maka membutuhkan waktu -/+ 50 tahun baru mendapatkan break even point (BEP).

Tentunya ini waktu yang panjang bagi sebuah investasi besar, dan belum tentu ada investor yang tertarik dengan waktu BEP yang demikian lama, apalagi tidak mudah membuat publik menerima beban biaya semacam toll saat melewati jembatan tersebut.

Maka perlu dicarikan sumber pendapatan lain yang menarik investor agar mau membiayai jembatan ini, dengan memberi kemudahan maupun keuntungan yang menggiurkan.

Ada banyak potensi yang teridentifikasi dan cukup menjanjikan untuk dijual kepada investor antara lain : perikanan dan kelautan (hasil laut sangat melimpah), pertanian dan perkebunan, pariwisata (Samana Santa, Meko, Ile boleng ), perindustrian (galangan kapal, air mineral) dan energi (arus laut yang kencang berpeluang diolah menjadi energi listrik).

Semua potensi ini memberi nilai tambah bagi siapapun yang akan mengeluarkan uangnya untuk mengeksploitasi potensi menjadi keuntungan, namun potensi arus laut yang deras dan konstan sepanjang waktu dengan kecepatan arus rata-rata antara 3,4 mtr -4.3 mtr /detik, adalah potensi paling menarik yang menggiurkan.

Menarik karena arus laut yang kencang ini bisa diubah menjadi energi. Menggiurkan karena energi yang dihasilkan adalah energi baru terbarukan (renewable energi) dengan potensi produksi besar, dimana energi ini sangat "sexy" untuk digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga arus laut sebagai pengganti energi fosil (minyak bumi, batu bara, dll) yang jumlahnya makin menipis dari waktu ke waktu.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengatakan di Jakarta pada tahun 2017 bahwa energi fosil dunia hanya bertahan hingga 18 tahun ke depan. Oleh karena itu energi baru terbarukan perlu dikembangkan sedini mungkin. Apalagi penggunaan energi baru terbarukan di Indonesia menurut Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementrian ESDM, Harris, baru mencapai 19,5 persen dari target 23 persen saat virtual coference GNSSA 2.0 di Jakarta (Rabu,16/9/2020).

Sementara menurut Peppres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), penggunaan energi baru terbarukan harus mencapai 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050.

Tentunya potensi arus laut yang ada di Selat Sempit Larantuka -Adonara ini memang perlu dikembangkan agar bisa memberi nilai tambah bagi masyarakat dan Pemerintah. Persoalannya adalah, adakah investor yang mau mengembangkan potensi ini dengan biaya besar ?

Pemda NTT pada waktu itu berusaha mencari investor agar mau mengeksploitasi potensi yang ada di Flores Timur dan sekitarnya. Pilihan pertama jatuh di JICA (Japan Internasional Corporate Agency) sebuah badan kerja sama internasional yang berkedudukan di Tokyo-Jepang, karena keberadaan TPI Amagarapaty -Larantuka dibiayai oleh lembaga tersebut.

Namun JICA tidak begitu berminat untuk membiayai pembangunan jembatan tersebut walau mereka tahu ada banyak potensi di perairan ini.

Namun demikian, informasi tentang rencana pembangunan jembatan ini ramai diberitakan media, sehingga dibaca oleh beberapa orang Indonesia yang ada di Belanda, salah satunya adalah Pak Latief Gau, putera Makasar yang sudah lebih dari 25 tahun menetap di Einhooven -Belanda. Pak Latief dan mitranya di Belanda sedang mencari sumber energi baru terbarukan di seluruh dunia, baik itu dari rumput laut maupun dari arus laut. Info inilah yang membawa Pak Latief cs bersama perusahaan jasa konstruksi multi nasional yang ada di Belanda, STRUCTON bekerja sama dengan Tidal BV (mitra STRUCTON), tiba di Kupang untuk mendapatkan informasi lebih detail.

Sebelumnya BPPT pada tahun 2008 pernah memasang turbin di dasar laut selat sempit ini, dan mencoba menggunakan kekuatan arusnya diubah menjadi energi listrik.

Hasilnya cukup signifikan dimana listrik menyala dengan kekuatan 1 MW dan warga di sekitar Wureh-Adonara sempat menikmati listrik dari arus laut ini. Namun sayang turbin yang dipasang didasar laut dengan kedalaman 25-28 meter itu hanyut, rusak dan hilang akibat derasnya arus di selat ini, (Dr. Erwandi, tenaga pengajar ITS-BPPT ).
Info tentang "kesuksesan" BPPT merubah arus laut menjadi tenaga listrik menjadikan STRUCTON dan Tidal BV serius ingin mengeksploitasi potensi ini menjadi sumber energi baru terbarukan yang memang sedang dibutuhkan seluruh umat manusia manakala energi fosil terus menyusut. Apalagi jika berbicara teknologi keairan, maka Belanda adalah kiblatnya, karena sebagian besar wilayah Belanda dikelilingi air. Dan mereka sangat yakin akan kemampuan teknologinya. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved