Opini Pos Kupang
SARJANA MILENIAL (Catatan Lepas untuk Sarjana Milenial Pasca Wisuda)
Setiap tahun di lembaga- lembaga pendidikan sekolah tinggi dan Universitas di seluruh Indonesia mewisuda lulusan akademisinya
Oleh Yohanes Mau, Tinggal di Zimbabwe-Afrika
POS-KUPANG.COM - Setiap tahun di lembaga- lembaga pendidikan sekolah tinggi dan Universitas di seluruh Indonesia mewisuda lulusan akademisinya. Wisuda sebagai momen bersejarah bagi seorang pelajar yang sukses dalam dunia pendidikan.
Hal ini karena jerih lelah, ratap, tangis, dan keringat selama masa studi dipanennya dengan hasil menggembirakan. Mereka kelompok cendekiawan dunia milenial kini. Sarjana-sarjana milenial zaman now.
Dunia maya, seperti media-media sosial dihiasi penuh dengan status dan foto-foto keren zaman now up to date. Semua itu sebagai luapan ungkapan syukur kepada Tuhan Sang Penyelenggara Hidup.
Baca juga: Fasty Feka Runner Up Puteri Remaja Indonesia 2020
Lebih dari itu ucapan terima kasih kepada semua penjasa yang berandil selama proses pendidikan berlangsung. Ratusan, bahkan ribuan sahabat, kenalan dan simpatisan mengacungkan jempol dan memberi ucapan selamat atas sukses. Saya pun turut memberikan ucapan apresiasi atas sukses yang telah digapai oleh para mahasiswa ini.
Kesan, saya merasa terganggu dengan postingan foto dan status di media sosial seperti facebook, WA, Twitter, instagram, dan media lainnya. Memang itu yang lazim untuk zaman kini dan bentuk ungkapan bahagia atas sukses.
Baca juga: Lurah Lewoleba Barat Minta Warga Jaga Kebersihan Cegah DBD
Di sini para wisudawan-wisudawati menepuk dada kepada dunia bahwa mereka ada. Mereka bangga masuk dalam barisan sarjana milenial yang siap menghumanisasikan proses memanusiakan manusia. Mereka akan tampil sebagai creator dan pendidik handal yang kontekstual.
Descartes, Sang filsuf ternama dari Prancis mengutarakan ungkapan Cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada. Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang itu sendiri.
Dalam konteks ini, saya posting status dan foto-foto tentang sukses maka dunia tahu bahwa saya ada. Apakah ini disebut sebagai Sarjana milenial? Mereka juga disebut sarjana tapi para sarjana pelengkap yang mendominasi dunia-dunia maya. Mungkin label demikian relevan untuk mereka.
Harapan, semoga sarjana milenial bisa mengkontekstualkan skill di dunia nyata lewat literasi pendidikan. Literasi pendidikan mesti kontekstual dimana para creator dan pendidik mampu membaca, menyiapkan materi, menginternalisasikannya kepada peserta didik, serta mempublikasikannya di media-media lokal dan nasional.
Bahagia atas hal-hal seperti ini baru diacungkan jempol karena menjadi barisan kelompok sarjana milenial yang menorehkan nama. Karena nama est Omen (nama adalah sebuah tanda).
Tanda hadir dan dikenal oleh publik lewat karya tulis. Ketika sebuah artikel karya tulis seorang sarjana terbit di media lokal atau nasional nama penulis tercatat dan akan dikenang. Di situlah terjawab makna terdalam dari Nomen est Omen. Dan sebagai bentuk sumbangan skill sarjana milenial untuk orang banyak.
Teori tidak mati di kepala tetapi direalisasikan, sehingga dunia tahu sarjana ini sudah mati tapi teorinya masih ada dan hidup hingga abadi. Sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Pramoedya A. T "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Sebenarnya Pramoedya mengajak setiap inzan untuk menggoreskan pengalaman dalam sejarah hidupnya secara baik dan benar lewat menulis. Karena menulis itu menghidupkan yang mati.
Manusia akan lenyap dari peradaban muka bumi tapi kisah hidup tentang prestasi dan suksesnya itu akan abadi bila ditulis. Dunia akan mengenal dan mengenangnya setiap kali membaca hasil karya yang pernah dipublikasikan di media-media lokal dan nasional.
Seorang cendekiawan akan mati dan terus mati bila ia tidak menulis. Beda dengan cendekiawan yang menulis menorehkan nama dalam sejarah peradaban dunia. Ia tidak mati selama-lamanya tapi ia mati untuk hidup hingga keabadian. Karena lewat karya tulisnnya ia dikenang, ide dan gagasan-gagasannya tetap segar, hidup, dan terkenang.
Sarjana milenial, cukupkah hanya memuat foto-foto dan status tentang sukses di media sosial? Sudah nyamankah dengan gelar yang Anda miliki? Kalau belum dan mau jadi cendekiawan muda yang namanya dikenang oleh dunia, menulislah untuk media-media lokal dan nasional agar Anda tidak hilang dari peradaban dunia sebelum ajal menjemput.
Saatnya sarjana milenial merasa tertantang dengan gelar yang dimiliki. Mulailah menulis. Jangan bangga dan merasa nyaman dengan gelar itu. Tidaklah cukup sarjana milenial hanya mendominasi dunia-dunia maya. Di sini saya membangkitkan spirit para sarjana untuk menorehkan nama lewat menulis.
Karena menulis adalah merawat dan melestarikan sejarah peradaban dunia. Artinya kaum cendekiawan namanya tidak sirna bersama hanyutnya hari dan waktu. Dengan menulis, skill seorang sarjana teruji di lapangan. Kalau belum menulis di media lokal dan nasional maka skill seorang sarjana patut dipertanyakan.
Karena menulis itu menghidupkan yang mati. Menjadi sarjana berarti mampu menulis dan mempublikasikannya di media resmi bukan media sosial berupa status dan gambar-gambar hits terkini. Sarjana milenial, mari budayakan menulis. (*)