Siapapun Anda Janganlah Menantang Matahari Apalagi Meludahinya
Siapapun Anda Janganlah Menantang Matahari Apalagi Meludahinya, CEK BERITANYA YUK
Seorang filsuf yang pintarsekalipun, seorang professor dan doctor yang berpendidikan tinggi sekalipun, seorang pejabat gereja yang memiliki kuasa yang besar sekalipun, yang mengemukakan pendapat pribadinya, jikalau itu bertentangan dengan kebenaran Alkitab, maka harus dikitisi dan dikoreksi apa pun resikonya.
Penekanan Luther tentang Sola Gratia (hanya oleh anugerah) dalam Gerakan reformasi sebetulnya juga diangkat dari pemikiran Rasul Paulus dalam bacaan kita hari ini yang mengajak jemaat di Efesus untuk menempatkan diri mereka bukan berdasarkan apa yang mereka mau, tetapi apa yang Tuhan Allah mau dalam kehidupan mereka.
Apa yang kita mau sebagai manusia banyak. Tetapi apa yang kita mau itu belum tentu jatuh sama dengan yang Tuhan mau sebagaimana dalam kesaksian Alkitab.
Jadi dalam kehidupan bergereja,Alkitab harus menjadi patokan dan ukuran kita. Baik Jemaat, penatua, diaken, pengajar, para pendeta dan para pemimpin gereja harus menjadikan Alkitab sebagaidasar dan patokan ajaran gereja dan bukan pada pemikiran manusia yang apalagi ada keterbatasannya, ada kepentingan dan pamrih tertentu.
Kembali kepada ilustrasi awal khotbah saya tadi. Kalau Alkitab seumpama diibaratkan sebagai matahari, maka kita tidak dapat menantangnya, atau meludahinya.
“Tadi pagi kira-kira pukul 05:30 ketika saya menuju ke Gedung Gereja Efata ini dari rumah di Meranti dengan mobil, saya tidak dapat memacu kendaraan dengan cepat agar bisa sampai jauh lebih awal disini, karena sinar matahari begitu tajam menyinari wajah saya, dan hal ini membuat mata saya menjadi silau dan menghalangi padangan saya di depan.
Agar tidak terjadi kecelakaan saya mengurangi kecepatan mobil dan mengangkat tangan kiri untuk mencoba menghalangi sinar matahari menerpa langsung mata saya .
Kalau sinar matahari saja kita tidak bisa tantang apalagi terhadap Alkitab yang ajaran dan pengakuan gereja diyakini sebagai Firman Allah, maka orang juga tidak mungkin dapat menantang Firman Allah, atau menggantikan dengan pemikiran-pimikiran liberal manusia yang bertentang dengan Alkitab itu sendiri.
Meludah pada matahari saja tidak mungkin kita lakukan apalagi kita meremehkan kebenaran Alkitab sebagai Firman Tuhan yang menjadi patokan ajaran dan kehidupan bergereja kita.
“Bagi Warga GMIT yang aktif di media social Facebook, Whattsapp, Twitter dan lain sebagainya, beberapa minggu terakhir ini GMIT dihebohkan dengan polemik atau pro dan kontra tentang LGBTQ. Seorang warga gereja mengirim pesan berupa komentar dari seseorang yang mengomentari “Surat Edaran” dari MSH GMIT yang ditujukan kepada klasis-klasis se GMIT, dan meminta pendapat saya terhadapnya. Komentar orang itu intinya mengatakan Surat Edaran itu sepertinya bukan sebagai Suara Gembala, tetapi Suara Serigala. Saya kutip: “Suara Gembala sudah berubah menjadi Suara Serigala. Bukan membimbing kejalan yang benar, tetapi menyesatkan domba kelembah kekelaman. Saya bilang kepada warga gereja yang meminta komentar dan pendapat saya terhadap komentaritu. “Saya belum bisamemberikan pendapat saya kalau tidak melihat secara langsung isi edaran dari MSH GMIT.
Maka secepat kilat warga gereja itu kirimkan kepada saya. Setelah saya mencermati isi edaran MSH GMIT dan membandingkan dengan komentar orang itu, saya berpendapat bahwa komentar orang terhadap surat edaran MSH itu terlalu tendensius dan berlebihan. Justru surat edaran MSH itu berusaha menjawab harapan warga GMIT untuk mengetahui apakah sikap gereja terhadap polimik tentang LGBTQ, di mana intinya GMIT menolak pernikahan sejenis dan menolak perilaku penyimpangan seksual LGBTQ”.
Mesakh Dethan menegaskan” oleh karena itu mari kita sudahi sudah pertengkaran yang sia-sia ini dan kita fokus membangun iman dan ekonomi jemaat.
Kalau iman dan ekomoni jemaat kuat, maka imun mereka juga semakin kuat menghadapi pergumulan pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia ini.
Jadi mencermati edaran MSH, nampaknya komentar orang itu kurang kuat secara ekklesiologi dan prinsip bergereja kita yang dilandasi kasih, etika dan sopan santun orang beriman.
Saya juga sebetulnya tidak setuju dengan sikap-sikap dan pernyataan pribadi pihak-pihak tertentui yang kontroversial yang cenderung mendukung perilaku menyimpang LGBTQ, akan tetapi dalam edaran MSH itu nampak jelas malah bertentangan dengan pihak-pihak yang seolah-olah dianggap sebagai mewakili sikap resmi gereja. Karena surat edaran yang dikeluarkan terakhir itu justru telah mengoreksi pendapat-pendapat yang keliru, yang “memberi angin segar”kepada mereka yang pro kepada LGBTQ. Pemikiran MSH dalam Surat Edarnituadalahsikapresmi GMIT secarakolektifMajelisSinodeHarian GMIT. Jadisayamenilai MSH secarakolektiftelahmeresponkeinginanpublikatauwarga GMIT untuk kembali kepada ajaran gereja yang bersumber kepada Alkitab. Dan saya kira ini Langkah posetif yang patut diapresiasi.
“Jadi saya sarankan juga mari kita hentikan sudah polimik ini, kalau pun orang yang memberi komentar pedas itu mau dipanggil untuk diminta keterangannya, panggilah sebagai anak-anak Tuhan yang mengedapankan kasih dan diselesaikan secara baik-baik.
Dan biarlah keterbukaan dan etikat baik menjadi jalan dan cara untuk buka hati dan berdamai satu dengan yang lain.
Karena bagaimanapun kita ini orang bersaudara dalam YesusKristus, bagaimana kita bisa melayani dengan baik kalau kita fokus dengan hal-hal yang sia-sia?”
Ingat tiga kata ini: Iman, ekonomi, dan Imun. Jika iman dan ekonomi jemaat bertumbuh, maka imun mereka akan meningkat menghadapi wabah dan masalah yang mereka hadapi kini dan disini. Amin”. Demikian Pendeta dan Akademisi UKAW ini menutup khotbahnya. (*)