Siapapun Anda Janganlah Menantang Matahari Apalagi Meludahinya
Siapapun Anda Janganlah Menantang Matahari Apalagi Meludahinya, CEK BERITANYA YUK
POS-KUPANG.COM - Siapapun Anda Janganlah Menantang Matahari Apalagi Meludahinya
“Ada ungkapan lama orang tidak mungkin menantang matahari, orang tidak mungkin meludahi matahari, karena ludahnya sendiri akan jatuh kembali menimpanya.
Kalau seumpama saja Alkitab diibaratkan dengan matahari, maka orang pun tidak dapat menantang atau meludahinya.
Baca juga: Hari Ini Tambah Dua Orang Terkonfirmasi Positif Covid-19 di Belu
Baca juga: 11 Karakter Orang Lahir Bulan November: Scorpio dan Sagitarius: Teman Paling Setia, Pejuang Keadilan
Baca juga: Sebanyak 103 Mahasiswa Malaka Masuk jadi Anggota GEMMA
Baca juga: KKB OPM Pimpinan Lekagak Telengen, Unggah Video Desak Kemerdekaan Papua Sesegera Mungkin, Kok Bisa?
Dan jika Alkitab dikatakan sebagai Firman Tuhan, yang lebih dari matahari, maka terlebih lagi orang juga tidak dapat menantangnya atau meludahinya walaupun siapapun dia.
Orang tidak dapat merendahkan dan menafsirkan makna alkitab menurut versinya sendiri, dan demi kepentingan tertentu yang menyesatkan dan bertentangan dengan kebenaran Alkitab itu sendiri.

Ini juga hampir mirip dengan pergumulan tokoh reformasi Marthin Luther pada malam 30 Oktober 1517 di kota Wittenberg.
Betapa tidak sang biarawan Luther bergumul sepajang malam dengan pertanyaan-pertanyaan dan keberatan-keberatan teologis yang mendasar yang kemudian dikenal dengan nama 95 dalil bantahan terhadap praktik indulgensi yang dijalankan oleh Paus Leo X pada masa itu, di mana pengampunan dosa bisa didapat oleh siapapun. Syaratnya hanya dua: mau dan punya uang”.
“Bagi Luther ajaran ini telahmenyimpang dari ajaran Alkitab Perjanjian Baru yang sesungguhnya.
Ajaran ini seakan telah menantang Alkitab itu sendiri”, demikian cuplikan pemikiran dari Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan,M.Th, MA, Dosen Pasca Sarjana Universitas Kristen Artha Wacana Kupang dalam khotbahnya pada Kebaktian Perayaan Penutupan Bulan Keluarga, HUT GMIT ke 73, dan Peringatan Hari Reformasike 503 di gereja Efata Liliba, Klasis Kota Kupang Timur, yang dilayani oleh Pdt. Diana Bunga Manafe, STh, hari Sabtu tanggal 31 Oktober2020.
Menurut Luther, Paus Leo X dianggap telah membuat penafsiran kontekstual yang keliru pada masa itu hanya demi untuk kepentingan mencari uang atau menggalang dana untuk rekonstruksi Basilika Santo Petrus di Roma dan upaya ini sangat didukung oleh biarawan Johann Tetzel dari Ordo Dominikan.
Menurut Tetzel “jangankan kepada yang masih bernapas, orang yang mati pun dapat dihapus dosanya asalkan keluarga yang masih hidup bersedia membeli surat indukgensia (surat penghapusan dosa)”.
“Luther menentang tafsiran dan tindakan gereja yang dianggapnya tidak masuk akal. Ia geram terhadap pemahaman indulgensi gereja dan ia kemudian melakukan tindakan tegas dan gagah berani ia telah tuliskan dalam 95 dalilnya.

Baginya, indulgensi macam itu justru bertentangan dengan doktrin Alkitab bahwa pengampunan datang dari iman dan karunia Tuhan Allah semata”, demikian menurut akademisi UKAW dan mantan wartawan Pos Kupang pencetus rubrik berbahasa Kupang “Tapaleuk” ini.
“Luther membawa palu kemudian mengayunkannya keras-keras ke paku di pintu gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517.
Dia mematri 95 dalil yang sebagian besar isinya mempertanyakan keputusan Paus tentang indulgensi.
Bagi Luther kehidupan bergereja harus diukur dari Alkitab, bukan pada pemikiran manusia dan tafsiran kontekstual manusia yang keliru terhadap ajaran gereja.
Semboyan Luther yang terkenal adalah Sola Scriptura (hanya oleh karna Alkitab, dan bukan yang lain. Peristiwa ini adalah tonggak sejarah berdirinya Kristen Protestan dan diperingati sebagai Hari Reformasi pada setiap tanggal 31 Oktober”, demikian menurut Mesakh Dethan. Di kemudian hari para teolog dan sejarawan katholik berpendapat seandainya saja pada waktu itu kritikan Luther ini didengar oleh para petinggi gereja waktu itu, maka tentu sejarah gereja tidak akan berlaku seperti sekarang ini.
Namun saya ingin sedikit meluruskan ada pihak tertentu yang mengkaitkan Peristiwa Luther menempelkan 95 Dalil ini dengan upaya penterjemahan Alkitab dalam Bahasa Jerman.
Baca juga: Hari Ini Tambah Dua Orang Terkonfirmasi Positif Covid-19 di Belu
Baca juga: 11 Karakter Orang Lahir Bulan November: Scorpio dan Sagitarius: Teman Paling Setia, Pejuang Keadilan
Baca juga: Sebanyak 103 Mahasiswa Malaka Masuk jadi Anggota GEMMA
“Dari fakta sejarah Jerman hal itu kurang tepat, karena upaya Luther menterjemahkan alkitab baru terjadi jauh lama kemudian, yaitu baru pada tahun 1521.
Tepatnya setelah peristiwa dikeluarkannya Dekrit Worms pada tanggal8 Mei 1521, yang berisi larangan terhadap Luther untuk menulis pemikirannya, dan mengumumkannya sebagai "terpidana bidaah".
Dekrit itu membuatnya seolah dikutuk dan buronan gereja. Seorang teman baik Luther, kemudian membantu menyembunyikannya di Kastil Wartburg.
Selama dalam masa persembunyian itulah, Luther menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman supaya masyarakat bisa memahaminya dalam dalam pemikiran, bahasa dan budaya mereka sendiri”, demikian menurut pakar Perjanjian Baru tamatan Universitas Heidelberg Jerman ini mengatakan.
Kembali kepada penekanan Paulus tentang kasih karunia dan rahmat Allah, yang juga diangkat oleh Luther dalam perdebatannnya ini dikatakan dalam Efesus 1: 3-8: “ 3 Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.
Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.

5 Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, 6 supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalamDia, yang dikasihi-Nya.
7 Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, 8 yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian.
”Perhatkan ayat Efesus 1:5, Tuhan Allah telah memilih dan menyelamat orang percaya malahan sebelum dunia diciptakan,, dan bukan baru karena seseorang mau dan mampu dengan uangnya membeli surat pengampunan dosa Indulgensia.
Menurut Mesakh Dethan sebelumnya juga dalam 1 Korintus 15:10 Paulus telah menekan kasih Allah dalam hubungan dengan personal dirinya sendiri sebagai contoh yang nyata.
Keberhasilan pekerjaan Pekabaran Injil dari Rasul Paulus yang maju pesat hampir di semua wilayah kekaiseran Romawi, dipandang oleh Paulus sendiri bukan karena kemampuan dirinya, tetapi karena kasih karunia Allah.
“Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagai mana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia.
Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertaiaku” (1 Kor. 5:10).
Pemikiran ini diangkat oleh Luther dalam salah satu semboyan reformasi yang terkenal : Sola Gratia (hanya oleh karena anugerah, orang selamat karena anugerah Allah bukan karena upayanya.
Juga dalam Galatia 2:16 Paulus mengatakan bahwa jemaat juga secara kolektif dengan segala sumberdaya yang mereka miliki pun tidak mampu menyelamatkan dirinya hanya dengan mengandalkan Hukum Taurat, tetapi hanya karena iman kepada Yesus Kristus orang dapat diselamatkan.
“Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus.
Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat.
Sebab: "tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat.” Hal ini memunculkan semboyan Luther dan para reformator gereja saat itu yang ketiga, Sola Fide (hanya oleh karena iman). Orang diselamatkan hanya oleh karena iman mereka kepada Yesus Kristus sang Penebus dan bukan karena perbuatan baik dan melakukan hukum taurat.
Bagaimana ketiga semboyan itu berfungsi dan dapat dipahami secara logis.
Bagaimana sola Gratia dan Sola Fide berfungsi, maka orang harus Kembali berpatokan kepada Alkitab. Alkitab haruslah menjadi dasar dan acuan kehidupan bergereja. Kehidupan kita sebagai orang beriman.
Maka bagi Luther apa pun yang kita lakukan dalam gereja, jangan sekali-kali menantang dan melawan isi Alkitab sebagai Firman Tuhan.
Kita tidak bisa memutarbalikan Alkitab untuk kepentingan pribadi kita, atau kelompok kita atau untuk kepentingan tertentu.
Kita tidak boleh menafsirkan alkitab seenaknya, sesuai dengan kita punya mau atau pesanan kelompok dan orang-orang tertentu. Tidaklah demikian menurut Luther.
Bagi Luther orang harus kembali kepada kebenaran Alkitab. Maka sembonyan Luther yang terkenal adalah Sola Scriptura cocock dengan situasi ini.
Bahwa Tuhan telah menebus kita oleh karena kasihnya. Dan dalam iman kita menyakini itu.
Dan hal itu hanya dimungkinkan karena apa? Dimungkin karena kesaksian dan penyataanAlllah yang sudah dinyatakan dalam Alkitab.
Karena itu pemikiran filsafat, atau Gerakan masyarakat dan kelompok-kelompok tertentu berupa pemikiran-pemikiran mereka masing-masing, itu harus diuji dan dikritisi dibawah terang Firman Allah.
Seorang filsuf yang pintarsekalipun, seorang professor dan doctor yang berpendidikan tinggi sekalipun, seorang pejabat gereja yang memiliki kuasa yang besar sekalipun, yang mengemukakan pendapat pribadinya, jikalau itu bertentangan dengan kebenaran Alkitab, maka harus dikitisi dan dikoreksi apa pun resikonya.
Penekanan Luther tentang Sola Gratia (hanya oleh anugerah) dalam Gerakan reformasi sebetulnya juga diangkat dari pemikiran Rasul Paulus dalam bacaan kita hari ini yang mengajak jemaat di Efesus untuk menempatkan diri mereka bukan berdasarkan apa yang mereka mau, tetapi apa yang Tuhan Allah mau dalam kehidupan mereka.
Apa yang kita mau sebagai manusia banyak. Tetapi apa yang kita mau itu belum tentu jatuh sama dengan yang Tuhan mau sebagaimana dalam kesaksian Alkitab.
Jadi dalam kehidupan bergereja,Alkitab harus menjadi patokan dan ukuran kita. Baik Jemaat, penatua, diaken, pengajar, para pendeta dan para pemimpin gereja harus menjadikan Alkitab sebagaidasar dan patokan ajaran gereja dan bukan pada pemikiran manusia yang apalagi ada keterbatasannya, ada kepentingan dan pamrih tertentu.
Kembali kepada ilustrasi awal khotbah saya tadi. Kalau Alkitab seumpama diibaratkan sebagai matahari, maka kita tidak dapat menantangnya, atau meludahinya.
“Tadi pagi kira-kira pukul 05:30 ketika saya menuju ke Gedung Gereja Efata ini dari rumah di Meranti dengan mobil, saya tidak dapat memacu kendaraan dengan cepat agar bisa sampai jauh lebih awal disini, karena sinar matahari begitu tajam menyinari wajah saya, dan hal ini membuat mata saya menjadi silau dan menghalangi padangan saya di depan.
Agar tidak terjadi kecelakaan saya mengurangi kecepatan mobil dan mengangkat tangan kiri untuk mencoba menghalangi sinar matahari menerpa langsung mata saya .
Kalau sinar matahari saja kita tidak bisa tantang apalagi terhadap Alkitab yang ajaran dan pengakuan gereja diyakini sebagai Firman Allah, maka orang juga tidak mungkin dapat menantang Firman Allah, atau menggantikan dengan pemikiran-pimikiran liberal manusia yang bertentang dengan Alkitab itu sendiri.
Meludah pada matahari saja tidak mungkin kita lakukan apalagi kita meremehkan kebenaran Alkitab sebagai Firman Tuhan yang menjadi patokan ajaran dan kehidupan bergereja kita.
“Bagi Warga GMIT yang aktif di media social Facebook, Whattsapp, Twitter dan lain sebagainya, beberapa minggu terakhir ini GMIT dihebohkan dengan polemik atau pro dan kontra tentang LGBTQ. Seorang warga gereja mengirim pesan berupa komentar dari seseorang yang mengomentari “Surat Edaran” dari MSH GMIT yang ditujukan kepada klasis-klasis se GMIT, dan meminta pendapat saya terhadapnya. Komentar orang itu intinya mengatakan Surat Edaran itu sepertinya bukan sebagai Suara Gembala, tetapi Suara Serigala. Saya kutip: “Suara Gembala sudah berubah menjadi Suara Serigala. Bukan membimbing kejalan yang benar, tetapi menyesatkan domba kelembah kekelaman. Saya bilang kepada warga gereja yang meminta komentar dan pendapat saya terhadap komentaritu. “Saya belum bisamemberikan pendapat saya kalau tidak melihat secara langsung isi edaran dari MSH GMIT.
Maka secepat kilat warga gereja itu kirimkan kepada saya. Setelah saya mencermati isi edaran MSH GMIT dan membandingkan dengan komentar orang itu, saya berpendapat bahwa komentar orang terhadap surat edaran MSH itu terlalu tendensius dan berlebihan. Justru surat edaran MSH itu berusaha menjawab harapan warga GMIT untuk mengetahui apakah sikap gereja terhadap polimik tentang LGBTQ, di mana intinya GMIT menolak pernikahan sejenis dan menolak perilaku penyimpangan seksual LGBTQ”.
Mesakh Dethan menegaskan” oleh karena itu mari kita sudahi sudah pertengkaran yang sia-sia ini dan kita fokus membangun iman dan ekonomi jemaat.
Kalau iman dan ekomoni jemaat kuat, maka imun mereka juga semakin kuat menghadapi pergumulan pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia ini.
Jadi mencermati edaran MSH, nampaknya komentar orang itu kurang kuat secara ekklesiologi dan prinsip bergereja kita yang dilandasi kasih, etika dan sopan santun orang beriman.
Saya juga sebetulnya tidak setuju dengan sikap-sikap dan pernyataan pribadi pihak-pihak tertentui yang kontroversial yang cenderung mendukung perilaku menyimpang LGBTQ, akan tetapi dalam edaran MSH itu nampak jelas malah bertentangan dengan pihak-pihak yang seolah-olah dianggap sebagai mewakili sikap resmi gereja. Karena surat edaran yang dikeluarkan terakhir itu justru telah mengoreksi pendapat-pendapat yang keliru, yang “memberi angin segar”kepada mereka yang pro kepada LGBTQ. Pemikiran MSH dalam Surat Edarnituadalahsikapresmi GMIT secarakolektifMajelisSinodeHarian GMIT. Jadisayamenilai MSH secarakolektiftelahmeresponkeinginanpublikatauwarga GMIT untuk kembali kepada ajaran gereja yang bersumber kepada Alkitab. Dan saya kira ini Langkah posetif yang patut diapresiasi.
“Jadi saya sarankan juga mari kita hentikan sudah polimik ini, kalau pun orang yang memberi komentar pedas itu mau dipanggil untuk diminta keterangannya, panggilah sebagai anak-anak Tuhan yang mengedapankan kasih dan diselesaikan secara baik-baik.
Dan biarlah keterbukaan dan etikat baik menjadi jalan dan cara untuk buka hati dan berdamai satu dengan yang lain.
Karena bagaimanapun kita ini orang bersaudara dalam YesusKristus, bagaimana kita bisa melayani dengan baik kalau kita fokus dengan hal-hal yang sia-sia?”
Ingat tiga kata ini: Iman, ekonomi, dan Imun. Jika iman dan ekonomi jemaat bertumbuh, maka imun mereka akan meningkat menghadapi wabah dan masalah yang mereka hadapi kini dan disini. Amin”. Demikian Pendeta dan Akademisi UKAW ini menutup khotbahnya. (*)