Opini Pos Kupang
Kepatuhan Terhadap Protokol Kesehatan: Compliance atau Obedience?
Merupakan sebuah tindakan pencegahan yang baik, yakni menjauhi kerumunan, memakai masker ketika keluar rumah, menjaga jarak dengan orang sekitar
Bila diterjemahkan ke dalam kata bahasa Indonesia, baik obedience maupun compliance memiliki arti yang sama yaitu kepatuhan. Namun sebenarnya jika dimaknai secara lebih detail, obedience dan compliance memiliki arti yang terpisah.
Dalam perspektif psikologi sosial, compliance berarti melakukan sesuatu yang dianjurkan, atau respon yang diberikan terhadap situasi dari luar subyek tanpa adanya paksaan, sehingga dapat dilakukan dengan bebas, tanpa merasa terbebani.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa compliance merupakan tindakan seseorang yang bersedia melakukan suatu hal karena dia menyetujui sebuah permintaan dan bukan karena perintah atau paksaan dari luar dirinya (dari orang lain).
Sementara itu, obedience merupakan suatu bentuk prilaku dimana seseorang mematuhi perintah langsung dari pimpinan. Obedience menjadikan seseorang melakukan perubahan sikap dan tingkah lakunya untuk mengikuti perintah orang lain.
Obedience dikatakan terjadi jika seseorang mengikuti perintah atasannya tanpa mempertanyakan untuk apa tujuan atau maksud perintah tersebut. Artinya, ia akan taat dan patuh karena ada orang lain atau karena ada instruksi/imbauan dari orang lain (yang lebih berkuasa), dan bukan dari kesadarannya sendiri.
Berdasarkan dua pemahaman tentang compliance dan obedience yang menjelaskan definisi kepatuhan tadi, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan merupakan suatu tindakan yang dilakukan seseorang karena adanya stimulus tertentu.
Stimulus yang menyebabkan kepatuhan tersebut dapat berupa permintaan, peraturan, perintah, maupun paksaan, yang akhirnya menimbulkan perilaku patuh untuk mengikuti stimulus.
Kepatuhan sebagai perilaku positif dinilai sebagai sebuah pilihan. Artinya individu memilih untuk melakukan, mematuhi, dan merespon secara kritis suatu aturan, himbauan, hukum, norma sosial, permintaan, maupun keinginan dari orang lain yang memegang otoritas ataupun peran penting.
Bertolak pemahaman teoritis tersebut, kita sudah bisa menemukan bahwa bentuk kepatuhan masyarakat saat ini (khususnya orang NTT) dalam menghadapi pandemi Covid-19, sedikit banyak mengarah ke konsep obedience. Alasan sederhana, karena pada dasarnya, masyarakat kita akan lebih taat kalau diawasi atau kalau ada `power' yang berkuasa dan memaksa.
Memang, tidak semua yang seperti itu, masih ada banyak orang lain yang melaksanakan perilaku patuh berdasarkan konsep compliance. Akan tetapi jika berkaca pada realita saat ini, saya kira untuk mencapai kepatuhan yang `ideal' perlu melibatkan aparat keamanan. Ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mendisiplinkan perilaku kita yang seolah `cuek' atau `tidak peduli' dengan situasi saat ini.
Modifikasi Perilaku untuk Meningkatkan Kepatuhan
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ada begitu banyak perilaku yang tidak menyenangkan atau dianggap tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, sehingga dalam ranah psikologi dibutuhkan suatu pendekatan/perlakuan yang umum dikenal sebagai `modifikasi perilaku'.
Modifikasi perilaku itu sendiri adalah segala usaha yang dilakukan untuk mengubah perilaku individu dengan memberikan intervensi psikologis tertentu. Dengan modifikasi perilaku diharapkan kita bisa fokus pada perubahan perilaku, alih-alih memahami mengapa atau bagaimana perilaku tersebut bisa terjadi.
Ada beberapa metode atau pendekatan yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, antara lain: positive dan negative reinforcement, punishment, flodding, aversion therapy, extinction, dan lain sebagainya.
Namun kali ini saya hanya mengusulkan salah satu bentuk modifikasi perilaku yang sederhana, agar masyarakat bisa lebih taat atau patuh terhadap imbauan/instruksi Pemerintah dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19, yakni pendekatan punishment.