Opini Pos Kupang
Bisakah ASN Netral dalam Pilkada?
Menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada) Serentak pada Desember mendatang, ASN wajib bersikap netral
Hemat saya, sah-sah saja bila ASN mendukung figur tertentu sebagai aplikasi hak politiknya atau mencalonkan diri sebagai calon bupati atau wakil bupati, asalkan memperhatikan etika birokrasi pemerintahan dan etika politik itu sendiri.
Diluruskan
Sorotan terhadap para ASN agar menjaga netralitas hemat saya perlu diluruskan dan dipertanyakan. Menjaga netralitas apa? Apa artinya netral? Apakah netral itu artinya diam dan tidak memihak figur/kelompok tertentu?
Jika imbauan untuk netral itu berkaitan dengan suatu proses politik, maka tidak dibenarkan karena dalam politik tidak ada yang netral. Politik menawarkan pilihan-pilihan.
Penghayatan hak politik ASN akan mempertemukan mereka dengan sejumlah pilihan dan prioritas. Menentukan pilihan berarti berani mengutamakan yang satu dan mengabaikan yang lain. Ini berarti pula menjadikan pilihan yang satu sebagai prioritas perjuangan dan menomorduakan yang lain.
Keberanian menentukan pilihan adalah keberanian dalam berpihak. Dengannya menjadi jelas bahwa keberadaan dan kemenjadian ASN juga adalah keberadaan dan kemenjadian yang berpihak.
Tugas dan fungsi seorang ASN adalah manjalankan amanat tugas dan fungsi pemerintahan yakni pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development).
Tugas dan fungsi di atas tidak serta merta menghilangkan keberpihakan politik. Walau berada di bawah kendali dan pimpinan seorang bupati dan wakil bupati, pilihan politik seorang ASN tidak harus sejalan dengan pilihan politik pemimpin instansi dan kepala daerah.
Menjaga netralitas dengan demikian tidak berarti tidak boleh berpihak, atau berpihak hanya kepada kepala daerah yang sedang berkuasa. Berbeda dalam pilihan politis itu wajar sehingga tidak perlu dipangkas dengan pisau cukur birokrasi.
Imbauan agar ASN menjaga netralitas selalu dikaitkan dengan separasi dua wilayah yakni wilayah birokrasi yang berkaitan dengan tupoksi dan wilayah pilkada yang berhubungan dengan politik praktis. Para ASN diminta untuk tidak terjun dalam medan politik praktis tetapi fokus pada pelaksanaan tupoksi.
Hal ini jika dicerna lebih jauh memang menimbulkan kontradiksi. Pertama, term politik praktis itu sendiri sebenarnya nirmakna. Kedua, pelaksanaan tupoksi seorang ASN tidak terlepas dari sebuah proses politik dan kebijakan politik. Karena itu, separasi dua wilayah di atas hanya menunjukkan kekerdilan cara berpikir semata.
Seorang ASN sebenarnya bergerak dalam satu ruang dengan berbagai aroma: politik, ekonomi, sosial, birokrasi, dan sebagainya. Mengkombinasikan aroma-aroma itu akan menjadikan ruang yang sama itu semerbak. Maka, dalam kaitan dengan implementasi hak politik ASN, berlakulah hukum ini: tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. ASN tidak boleh menjadi korban perangkap netralitas.
Etika Pemerintahan
Dalam etika pemerintahan berlaku asumsi bahwa melalui penghayatan etis yang baik, seseorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan dalam hal kebaikan dan moralitas pemerintahan.
Citra aparatur pemerintahan sangat ditentukan oleh sejauh mana penghayatan etis mereka tercermin dalam tingkah laku sehari-hari. Etika pemerintahan pada dasarnya berkaitan dengan upaya menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam sebuah kehidupan kolektif yang profesional.