Alasan Penolakan Masyarakat terhadap Pengembangan Pulau Rinca Berbasis Geopark atau Jurrasic Park
Alasan masyarakat melakukan penolakan penataan Pulay Rinca dengan konsep pengembangan geopark
POS-KUPANG.COM | JAKARTA - Pulau Rinca bakal disulap menjadi destinasi wisata premium dengan pendekatan konsep geopark atau wilayah terpadu yang mengedepankan perlindungan dan penggunaan warisan geologi dengan cara yang berkelanjutan. Konsep pengembangan geopark ini popular dinamakan "Jurrasic Park".
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah mengembangkan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Super Prioritas Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur ( NTT).
Salah satu kawasan yang akan mengalami perubahan desain secara signifikan adalah Pulau Rinca di Kabupaten Manggarai Barat.
Namun, pembangunan yang mencakup sarana dan prasarana ini tak berlangsung mulus, sebaliknya, menuai kecaman dari masyarakat setempat.
Salah satunya dari Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat. Forum ini menolak pembangunan sarana dan prasarana geopark di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo.
• Cara Daftar Online Untuk Wisata Ke Labuan Bajo dan TN Komodo dan Waktu Terbaik Lihat Komodo Kawin
• BFI Gandeng Dua Investor Kelola Pantai Pede Labuan Bajo, Bangun Resort dan Beach Club
• DUKUNG Pertemuan KTT G-20, Pemerintah Pusat Kucur Rp 1 Triliun Bangun infrastruktur di Labuan Bajo
Ketua Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp) Aloysius Suhartim Karya menyatakan penolakannya kepada Kompas.com, Rabu (16/9/2020).
"Penolakan terhadap pembangunan ini sudah kami sampaikan berkali-kali, termasuk lewat unjuk rasa yang melibatkan lebih dari 1.000 anggota masyarakat di Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) dan Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo, Flores, pada tanggal 12 Februari 2020," tegas Aloysius.
Formapp menyampaikan beberapa alasan penolakan terhadap pembangunan tersebut.
Pertama, kata Aloysius, pembangunan sarana dan prasarana berupa bagunan geopark di kawasan Loh Buaya bertentangan dengan hakikat keberadaan Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi.
Hal ini sebagaimana tertuang melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 306 Tahun 1992 tentang pembentukan Taman Nasional Komodo.
Dalam SK tersebut dijelaskan, Taman Nasional Komodo adalah kawasan konservasi alami yang utuh dari satwa Komodo dan ekosistem lainnya baik di darat maupun di laut.
Kedua, model pembangunan sarana dan prasarana geopark dengan cara betonisasi dapat menghancurkan bentang alam kawasan Loh Buaya.
Seperti tercantum dalam Permen LHK P.13/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2020 tentang Pembangunan Sarana dan Prasaranan Wisata Alam di Kawasan Hutan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang Penguasahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
"Ketiga, pembangunan sumur bor sebagai bagian dari Sarpras ini juga akan sangat membawa dampak buruk bagi matinya sumber-sumber air yang selama ini menjadi sumber penghidupan satwa dan tumbuhan yang menghuni kawasan Loh Buaya dan sekitarnya," lanjut Aloysius.
Pembangunan tersebut juga berpotensi menghancurkan desain besar industri pariwisata dan merugikan para pelaku wisata dan masyarakat Manggarai Barat.