TRIBUN WIKI : Fenomena Kemunculan Katak Emas, Ikan, Belut dan Kisah Mistis Danau Tiwu Sora Ende

Ada yang unik di obyek wisata Danau Tiwu Sora di Desa Tiwu Sora Kecamatan Kota Baru Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur ( NTT)

Penulis: Laus Markus Goti | Editor: Kanis Jehola
FOTO Gregorius M. Ade, SP.MP Camat Kota Baru Kabupaten Ende untuk POS-KUPANG.COM
Danau Tiwu Sora 

Para pengunjung yang hendak ke Danau Tiwu Sora, biasanya ditemani oleh warga setempat agar tidak terjadi hal buruk terhadap pengunjung.

Menariknya para pengunjung yang datang akan disambut secara adat, berupa tarian adat dan ritual khusus supaya pengunjung terhindar dari bahaya.

Gregorius mengatakan cerita mengenai Danau Tiwu Sora turun-menurun secara lisan. Konon, nama Danau tersebut diambil dari nama seorang bernama Woda Sora.

Awalnya Danau Tiwu Sora merupakan mata air kecil di lembah. Di dekat mata air tersebut Woda menanam berbagai jenis ubi-ubian. Sayangnya, setiap kali mau panen Woda selalu mendapati ubi-ubinya hilang. Woda pun penasaran.

Suatu ketika Woda Sora memasang jerat dekat mata air tersebut. Keesokan harinya Woda Sora mendapati jeratnya terlepas. Namun ia menemukan ada lendir-lendir menempel di jeratnya.

Tak putus asa, Woda kembali memasang jerat. Kali ini ia menyiram abu dapur di sekitar jerat. Keesokan harinya, Woda kaget, dalam jeratnya ada seekor belut besar.

"Nah belut itu dia bawa sekalian dengan jerat ke rumah. Kampung si Woda ini di atas bukit, di atas mata air keci itu," ungkap Gregorius.

Woda lalu menunjukan belut itu kepada saudarinya Ndero Sora, Sovi Sora dan kakanya Ndingga Sora. Ndingga pun kaget. Menurut Ndingga jeratan Woda bukan jeratan bisa sehingga harus dilangsungkan upacara adat.

Bersama warga kampung mereka lalu melakukan upacara adat di mata air, dekat tempat dimana Woda memasang jerat.

"Belutnya ditaruh dalam sebuah wadah, dibuat semacam tungku lalu kepala belut itu ditaruh semacam gelang," jelas Gregorius.

Setelah itu dilanjutkan dengan upacara pemotongan hewan dan gawi (gawi: tarian adat).

Namun sebelum gawi mereka sumpah adat bahwa ketika terjadi sesuatu selama gawi, setiap orang tidak boleh lari, kalaupun lari, tidak boleh menoleh ke belakang.

Selama gawi berlangsung hujan turun. Ndingga enam kali bertanya kepada saudara-saudarinya, 'air sudah sampai mana'. Nampaknya ketika mulai gawi air pelan-pelan mengenangi mereka.

Sampai air menjangkau leher mereka, ada warga lari, ada yang bertahan, dan tiba-tiba kampung mereka di atas bukit roboh ke bawah mata air air dan terbentuklah Danau Tiwu Sora.

Warga yang lari banyak yang sempat menoleh ke belakang dan mereka langsung menjadi batu.

"Bahkan ada yang lari sudah jauh tetapi karena toleh ke belakang maka jadi batu. Nah yang lari ini ada yang sedang gendong dengan anak kecil sehingga kalau kita lihat batu-batu itu, persis seperti seorang ibu yang sedang gendong anak," ungkapnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oris Goti)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved