PP PMKRI Kecam Tindakan Represif Terhadap Masyarakat Adat Besipae
PMKRI mengecam tindakan represif terhadap masyarakat Adat Besipae Kabupaten TTS, Provinsi NTT
POS-KUPANG.COM | KUPANG - Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia ( PMKRI) mengecam tindakan represif terhadap masyarakat Adat Besipae Kabupaten TTS, Provinsi NTT.
Berdasarkan rilis yang dikirim PP PMKRI kepada POS-KUPANG.COM, Kamis, 20/08/2020, menyampaikan, perayaan HUT ke-75 tahun ini, berbeda dengan perayaan kemerdekaan sebelumnya, hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75, dalam kesempatan yang berbeda, Presiden Joko Widodo menggunakan dua pakaian adat yang berbeda yang sama-sama berasal dari Nusa Tenggara Timur. Salah satu pakaian adat yang digunakan, bermotif Nunkolo, yang berasal dari Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
• 50 Persen Karyawan Swasta tak Punya BPJS Naker
Di kabupaten ini, terdapat tiga kelompok besar Masyarakat Adat: Mollo, Amanatun dan Amanuban. Sayangnya, penggunaan busana adat ini berbanding terbalik dengan kebijakan dan pengakuan terhadap masyarakat adat.
Sehari setelah kemerdekaan, tepatnya Selasa, 18 Agustus 2020, terjadi penggusuran paksa oleh aparat yang terdiri dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Brimob kepada Komunitas Adat Besipae di desa Linamnutu, kecamatan Amanuban Selatan. Pembongkaran ini dilakukan adanya instruksi dari Gubernur Nusa Tenggara Timur, Victor Bungtilu Laiskodat. Dampaknya sekitar 30 rumah dibongkar dan 47 Kepala Keluarga mengungsi.
• Kolaborasi dengan BRSDM KKP, Ansy Lema Gelar Pelatihan Diversifikasi Olahan Ikan di NTT
Dalam upaya pembongkoran paksa tersebut aparat Satpol PP dan Brimob melakukan tindakan tindakan kekerasaan terhadap warga sekitar, kekerasan itu dilakukan baik secara verbal dan fisik, hal ini mengakibatkan warga ketakutan, isak tangis dan teriakan pun tak terbendung terutama kaum perempuan dan anak-anak.
Permasalahan hutan adat Besipae bukanlah hal yang baru lagi. Ini merupakan konflik yang kembali mencuat ke permukaan. Pemerintah provinsi NTT berdalih hutan adat tersebut adalah aset milik daerah, sementara, masyarakat adat yang tinggal di sana tetap mempertahankannya karena hutan tersebut merupakan hutan yang sudah diturunkan secara turun-temurun.
Penolakan ini juga didasarkan pada surat kontrak lahan atau pinjam pakai oleh perusahaan peternakan asal Australia. Dimana pada tahun 1982 terjadi kesepatan antara Pemerintah Provinsi NTT dengan masyarakat adat Pubabu-Besipae. Dan saat kontrak ini berakhir pada tahun 1987, masyarakat adat menolak untuk memperpanjang kontrak tersebut. Sejak saat itu, Pemerintah tetap saja ngotot untuk mengelolah hutan tersebut sebagai Hutan Makanan ternak. Dampak dari pengelolaan ini yakni rusak ekosistem yang ada di sekitar hutan, yang mana hutan ini merupakan penyangga hidup masyarakat yang terdapat di sana.
Hal ini merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap konstitusi, karena dalam Pasal 18 B ayat 2 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia." Dan dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
Berangkat dari uraian di atas, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PP PMKRI) mengecam tindakan represif yang dilakukan oleh aparat dan meminta untuk menghentikan kekerasan terhadap masyarakat adat.
Ketua Presidium PP PMKRI, Benediktus Papa, mengatakan, "Penghormatan terhadap budaya dan hak masyarakat adat nusantara mestinya tidak hanya sebatas simbolik tetapi Pemerintah harusnya memberi perhatian dan keberpihakan penuh atas kelangsungan masa depan masyarakat adat dengan melahirkan regulasi yang berpihak kepada masyarakat adat, "
Alboin Samosir, selaku Ketua lembaga Agararia dan Kemaritiman PP PMKRI menuturkan, "preferensi pemerintah selama ini cenderung tunduk kepada pemilik modal, keberadaan masyarakat adat dianggap batu sandungan dalam pembangunan, maka tak heran tindakan-tindakan kekerasaan sering dialami oleh masyarakat adat. Oleh karena itu, kita perlu produk hukum yang betul-betul pro terhadap masyarakat adat, salah satunya yakni, dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. "
Selain meminta penghentian kekerasan terhadap masyarakat adat, PP PMKRI juga meminta agar kiranya Pemerintah Provinsi NTT segera menyelesaiakan konflik yang sudah berlarut-larut ini secara adil dan bijaksana, dan pastinya tidak merugikan masyarakat adat. Sebab, keberadaan masyarakat adat merupakan penyanggah utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oncy Rebon)